REKATRADISI
Sabtu, 9 September 2017
Halangan utama tokoh Nokas dalam film Nokas adalah belis, semacam mahar yang harus diberikan kepada keluarga calon mempelai perempuan, dalam jumlah dan bentuk yang harus disepakati dulu, dan harus sesuai ketentuan adat. Mungkin banyak dari kita yang bisa ikut merasakan pusingnya Nokas, ketika adat dirasa menyulitkan, tetapi harus dipatuhi. Kenapa harus?
​
“Tapi kenapa tidak?”, tanya mereka yang mendukung adat tradisi.
​
Sebuah tradisi adalah bentukan dari budaya masyarakatnya, dan —ini yang terpenting— mengandung nilai inti yang menjadikannya berharga. Sebuah alasan kenapa dia ada. Maka sebuah tradisi, bisa belis, bisa uang panai, bisa slametan 7 harian, bisa perang antar suku di Papua pun, punya nilai inti itu. Oleh karenanya, ada alasannya dilestarikan. Tapi secara praktik, apakah tradisi dilestarikan karena sepenuhnya memahami dan menghayati nilai-nilai itu, atau hanya sekadar “harus melanjutkan tradisi”?
​
Maka apa masa depan tradisi? Apakah harus dipertahankan semata demi kelestarian per se, kemudian memajangnya sebagai zombie yang tanpa jiwa di panggung pariwisata? Apakah harus dipertahankan sesuai dengan nilai-nilai dasarnya, walau mungkin sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini? Seberapa timeless nilai inti dari sebuah tradisi tertentu sehingga dia harus dipertahankan? Jikapun memang nilai yang terkandung dirasa timeless, memungkinkankah direka bentukan barunya?
Sebagai gambaran besarnya, kami melihat bahwa ketegangan dan tarik urat yang panas di masyarakat dewasa ini terjadi karena masyarakat kehilangan nilai pegangan yang ajeg tapi juga lentur. Kehilangan tradisi yang bermakna. Entah karena nilai tradisinya gagal diwariskan, atau gagal beradaptasi. Akibatnya, banyak yang beralih ke bentuk-bentuk radikalisme dalam berbagai lini, hanya demi mencari pegangan itu.
​
Mari menonton bersama, mengintip kehidupan masyarakat NTT; kemudian berbagi, tentang sejauh mana (dan sudah sejauh mana) tradisi bisa menyumbangkan nilai-nilainya bagi masyarakat, mudah-mudahan tanpa harus menambahi hal untuk dipusingkan hanya karena kekakuannya dalam penerapan bentuk.
​
Salam tradisi dan sampai jumpa di kineforum.
HANAFI
Seorang seniman lintas medium yang menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Seni Rupa Indonesia di Jogjakarta tahun 1976. Melalui beberapa kolaborasinya yang melampaui batas medium, Hanafi pernah beberapa kali mengeksplorasi sejarah budaya Jawa dari pengalaman dan cerapan pribadi, seperti dalam pameran "Biografi Visual Oksigen Jawa", dan penjelajahannya ke balik ruang tradisi sehari-hari dalam pameran "pintu belakang | derau jawa".
IWAN MEULIA PIROUS
Seorang pengajar atau dosen beberapa mata kuliah di jurusan Antropologi di Universitas Indonesia. Setelah menuntaskan S1-nya di Universitas Indonesia pada tahun 1997, ia melanjutkan pendidikan di Nottingham Trent University dan menyelesaikannya melalui tesis mengenai konstruksi identitas Dayak Iban di area perbatasan Kalimantan. Beberapa karya ilmiah lain juga telah dihasilkan olehnya, yang dimuat dalam artikel ataupun jurnal internasional..
Programmer & Moderator
IFAN ADRIANSYAH ISMAIL
Pertama kali terjun ke dunia film dan televisi sejak 2004 dengan turut menulis naskah acara komedi. Tahun 2010, merambah ke dunia film dan meraih Piala Citra 2013 untuk Skenario Adaptasi Terbaik melalui film Habibie & Ainun (berpartner bersama Gina S. Noer). Juga tergabung dalam situs kajian film, RumahFilm.org, dan tergabung dalam tim Eric Sasono yang melahirkan buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia
pada 2011. Kini, sembari tetap melanjutkan menulis skenario, juga menjabat sebagai Koordinator Program kineforum.
Program ini terselenggara berkat dukungan dari