top of page

Rumah Tanpa Jendela: Ramah Untuk Kelas Menengah


Artikel ini disalin dari Cinema Poetica (terbit 2 Maret 2011).

Rumah Tanpa Jendela akan hadir di layar kineforum dalam program Bongkar Brankas (7-20 Desember 2017).

 
Rumah Tanpa Jendela (Aditya Gumay, 2011)

Menonton Rumah Tanpa Jendela mengingatkan saya akan Rindu Purnama. Keduanya dirilis dalam waktu yang berdekatan, dan sama-sama mengangkat tema anak jalanan. Keduanya, melalui sebuah adegan tabrakan di jalan, juga sama-sama mempertemukan komunitas anak jalanan dengan kelas menengah. Pertemuan tersebut menghasilkan intrusi protagonis anak jalanan ke kelas sosial yang berbeda, yang menjadi badan plot kedua film. Saya sendiri tidak tahu apakah ada sesuatu di balik kesamaan antara kedua film, yang pasti melalui cara tersebut keduanya sama-sama menyajikan potret yang ramah tentang kelas bawah untuk penonton kelas menengah. Rindu Purnama melakukannya dengan mengambil bingkai cerita yang massif, yang mempertemukan karakter dari kedua kelas dalam sebuah proyek pembangunan, kemudian mengakhirinya sebagai cerita cinta antara tiga karakternya yang kelas menengah. Sementara, Rumah Tanpa Jendela menerapkan metode ganti kepribadian ala dokter Jekyll dan tuan Hyde. Setengah awalnya ia adalah film musikal, setengah sisanya drama keluarga, yang memusatkan kehidupan protagonis anak jalanan di polemik suatu keluarga borjuis.

Diadaptasi dari sebuah cerpen karya Asma Nadia, Rumah Tanpa Jendela bercerita tentang seorang anak jalanan bernama Rara, yang ingin punya jendela di rumahnya. Rumah Rara adalah rumah semi-permanen yang terbuat dari tripleks, jenis rumah yang biasa ditemukan di kawasan kumuh sebuah kota besar. Dalam salah satu sesi mengamennya, Rara tertabrak mobil Aldo, seorang anak yang mengidap kelainan fisik. Rara langsung dibawa ke rumah sakit, di mana setelahnya Rara dan Aldo jadi akrab dan berteman baik. Setelah itu, dunia Aldo secara harafiah menjadi pusaran kehidupan Rara. Segala berkat dan kehilangan yang Rara alami hingga akhir film selalu terkait dengan Aldo, mulai dari sumbangan buku ke sekolah Rara, berenang bersama teman-teman anak jalanan di rumah Aldo, hingga bantuan finansial dari nenek Aldo untuk merawat neneknya Rara di rumah sakit.

Aldo jelas adalah titik masuk penonton kelas menengah ke dalam Rumah Tanpa Jendela. Sepanjang film, Aldo adalah satu-satunya karakter kelas menengah yang dipandang berbeda oleh borjuis sesamanya. Dia hanya didukung sepenuhnya oleh neneknya dan kakak laki-lakinya. Karakter borjuis lainnya, termasuk ibu dan kakak perempuannya, menyimpan sentimen tersendiri terhadap Aldo. Berdasarkan relasinya dengan anggota sesama kelasnya, Aldo merupakan sebuah paradoks, dimana ketidaksempurnaan fisik yang ia miliki tampak kontras dengan kemapanan material di sekitarnya, dan karakter-karakter borjuis lainnya yang sehat walafiat secara fisik. Paradoks tersebut yang memberi kesempatan bagi pembuat Rumah Tanpa Jendela untuk menyampaikan pesan moral bagi penonton kelas menengah. Walau hidup mapan dengan fisik yang tidak sempurna, Aldo masih punya cukup hati untuk peduli dengan Rara dan teman-temannya. Aldo bahkan membuka jalan untuk Rara supaya dia bisa memenuhi impiannya, tidak seperti mayoritas karakter borjuis lainnya yang tampak acuh tak acuh.

Masalahnya, signifikansi pesan moral Rumah Tanpa Jendela tereduksi oleh naratif filmnya sendiri. Karakter-karakter anak jalanan tidak dibangun seutuh karakter-karakter borjuis dalam film. Terlihat sekali kalau pembuat film memotret komunitas anak jalanan dengan lensa yang terlalu bersih. Kecenderungan tersebut dapat terlihat dari setengah awal film, yang bercerita dengan metode film musikal. Di adegan pembuka, Rara dan sesamanya anak jalanan menari-nari dan menyanyi di antara lanskap lingkungannya yang kumuh. Beberapa menit kemudian, mereka kembali menari-nari dan menyanyi di tempat mereka mengamen. Kedua adegan musikal tersebut tidak membuka relasi apa-apa dengan isu-isu yang ada di kehidupan nyata. Tidak ada rujukan ke kesulitan yang dihadapi anak jalanan sehari-harinya. Tidak ada juga rujukan ke ancaman penggusuran, yang dalam adegan lain sempat terucap dalam dialog antar karakter anak jalanan. Dari kedua adegan musikal tersebut, penonton hanya akan mendapat informasi perihal energi anak-anak dalam bergerak, yang memang banyak disorot dalam film ini, dan optimisme Rara dalam menghadapi kesulitan hidupnya.

Parahnya lagi, karakter-karakter anak jalanan tidak didesain untuk sejajar dengan karakter-karakter kelas menengah. Dua adegan musikal yang dijelaskan di atas terjadi dalam kepala Rara. Di tengah aktivitasnya sekolah dan mengamen, Rara melamunkan dirinya dan teman-temannya menari-nari dan menyanyi. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa Rara dan teman-temannya tidak lebih dari rekaan sinematik belaka dalam sebuah struktur cerita yang tertutup. Mereka hanyalah pion dalam permainan naratif, yang digunakan pembuat film untuk menyampaikan pesan moralnya ke penonton. Kecenderungan tersebut semakin kentara di setengah kedua film. Ketika itu, film sudah berhenti jadi film musikal, karena semua lagu yang terdengar penonton tidak lagi terajut ke dalam naratif. Lagu hanya menjadi latar suara bagi adegan-adegan yang terjadi dalam film. Rumah Tanpa Jendela pun ganti kepribadian jadi drama keluarga, yang mengombang-ambingkan peruntungan Rara di polemik keluarganya Aldo. Tidak ada lagi adegan-adegan yang secara khusus menyorot Rara dan komunitas anak jalanan. Anak jalanan yang penonton lihat adalah mereka yang terkait dengan Aldo dan ribut-ribut keluarganya.

Saya jadi teringat lagi dengan Rindu Purnama. Walau pada akhirnya mengerucutkan naratifnya ke karakter-karakter kelas menengah, film tersebut setidaknya berusaha untuk menyorot dan mengembangkan karakter-karakter dari komunitas anak jalanan. Naratifnya juga tidak serta merta menjadikan karakter anak jalanan sebagai pion untuk pesan moral film. Sebaliknya, Rumah Tanpa Jendela tidak menyisakan apa-apa, kecuali komitmennya terhadap kelas menengah. Naratifnya jelas tidak berpihak pada komunitas anak jalan. Pesan moral yang disampaikan film juga lebih mengarah pada kelas menengah. Seusai menonton, saya pun bertanya-tanya: apakah mungkin Rumah Tanpa Jendela sebenarnya tidak punya komitmen sosial apapun, dan hanyalah usaha pemilik modal untuk meraup tiket dari penonton kelas menengah? Bisa jadi.

Rumah Tanpa Jendela | 2011 | Durasi 105 menit | Sutradara Aditya Gumay | Produksi Smaradhana Production, Sanggar Ananda | Negara Indonesia | Pemeran Emir Mahira, Dwi Tasya, Atie Kanser, Raffi Ahmad

 

Salah satu pendiri Cinema Poetica. Ia percaya dialektika tidak saja mengatur hajat hidup warga, tapi juga perkara asmara. Dari 2007 sampai 2010, mondar-mandir sebagai pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta. Sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi, Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus film.

Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.

Comments


bottom of page