top of page

Puisi Tak Terkuburkan: Nyanyian Sunyi Para Tahanan


Artikel ini disalin dari Cinema Poetica.

Puisi Tak Terkuburkan hadir di layar kineforum dalam program Menolak Bala, 15-28 Mei 2017.

 
Marni (Kuntz Agus, 2010)

Ibrahim Kadir, seorang ceh atau seniman tradisi lisan didong, merupakan salah seorang korban yang terkena imbas operasi militer G30S/PKI. Ia dibawa aparat saat tengah mengajar lagu Indonesia Raya di sebuah SD di Takengon, Aceh Utara. Mulanya ia heran—ia diboyong begitu saja tanpa pemeriksaan. Ibrahim tak lagi penasaran setibanya ia di penjara Takengon—tahanan lainnya adalah orang-orang yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia. Selama 22 hari, ia dipenjara bersama tahanan lainnya, sampai akhirnya dibebaskan dengan dalih terjadi kesalahan.

Hari-hari yang Ibrahim Kadir habiskan dalam penjara itu yang diceritakan oleh Garin Nugroho dalam Puisi Tak Terkuburkan. Selama 86 menit, film produksi 1999 ini berlangsung dalam sebuah penjara, berisikan para tahanan yang menunggu kepastian untuk diadili. Mereka mengisi hari dengan renungan-renungan yang mempertanyakan keadilan, juga berbagi cerita lucu tentang masa lalu masing-masing.

Garin sebisa mungkin membangun suasana kala itu. Penjara Takengon pada 1965 terekspresikan melalui detail-detail seperti dinding kayu lapuk yang berlubang di satu-dua titik, jeruji penjara yang bengkok di beberapa bagian, tempat tidur dari papan kayu, karung beras rajutan, dan tali pengikat tangan. Bisa ditilik pula para pemainnya. Tahanan laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian tradisional yang menjadi ciri khas Aceh. Begitu pula dengan pakaian sipir yang identik dengan kostum aparat pada era itu.

Puisi Tak Terkuburkan, secara visual, membatasi perspektif penonton—seluruh film berlangsung dalam sel penjara yang sempit. Keterbatasan visual ini Garin kompensasikan lewat permainan suara. Terdengar berbagai suara dari luar penjara, yang memantik tanggapan tersendiri dari masing-masing tahanan, juga memberi petunjuk bagi penonton akan ketegangan yang tengah berlangsung kala itu. Seperti ketika truk datang dan menaik-turunkan para tahanan dengan paksa. Ada pintu truk yang dibanting, nama yang dipanggil, dan lirih suara tahanan yang memohon ampun pada aparat. Suara ini memperluas penuturan film, sehingga tangkapan penonton tidak sesempit yang terlihat pada layar saja—bahwasanya ada dunia di luar, yang mengatur segala yang terjadi dalam penjara.

Dalam Puisi Tak Terkuburkan, Garin juga memanfaatkan suara untuk menjelaskan gejolak batin yang dirasakan para tahanan. Suara itu hadir sebagai tutur kalimat para pemainnya, termasuk Ibrahim Kadir. Hampir semua monolog dan dialog dalam film ini dibawakan dengan mendayu-dayu, seperti orang melantunkan puisi.

Dalam sebuah monolog bernada lirih, Ibrahim Kadir menceritakan pengalamannya menyaksikan pembunuhan seorang tahanan, “Kupikir, kalau dia berpisah antara tubuh dengan kepala, sakit sekali rasanya. Kematian itu… memang kita semua mengalami mati, berpisah kepala dengan tubuh ini. Sedih rasanya, sedih, sedih sekali. Pada saat lahir, badannya utuh. Mulai dari kaki, sampai ke rambut, diciptakan Tuhan lengkap. Tapi kita menceraikannya, ciptaan Tuhan itu. ‘Hey! aku tidak suka dengan ciptaan ini’ katanya. Kemudian dia memotongnya.“ Tertuturkan kekejian eksekusi yang dilakukan aparat.

Dengar pula dialog yang diucapkan seorang tahanan perempuan kepada sipir. Ia meminta namanya dipanggil untuk dieksekusi setelah muak dengan tugas-tugasnya di dalam penjara. Ia meminta Ibrahim Kadir mengikat kedua tangannya dengan tali pengikat kerbau. Tapi ia menolak kepalanya ditutupi dengan karung. “Tuhan menciptakan mata yang indah untuk melihat kehidupan,” ujarnya. Ia lalu dikumpulkan bersama tahanan perempuan lainnya, siap untuk menghadapi kematian. Lantas ia berkata pada Ibrahim Kadir, “Pak Cik, kalau ini semua telah usai, saya ingin Pak Cik tetap berdendang… tetap berdidong. Tapi jangan ceritakan semua ini dengan kemarahan.”

Ucapan-ucapan melankolis yang muncul bisa jadi menunjukkan ketidakberdayaan para tahanan di dalam penjara. Mereka hanya bisa melontarkan keluhan kepada entah, alih-alih protes menggugat ketidakjelasan nasib. Mereka paham penjara yang mereka tempati hanya sebuah subsistem kecil. Masih ada elemen-elemen lain yang membentuk sistem penjara yang lebih besar.

Dalam penjara Puisi Tak Terkuburkan, sipir adalah satu-satunya tokoh yang hadir sebagai kontradiksi bagi para tahanan. Tentu percuma protes kepada sipir, sebab di atas mereka masih banyak lakon-lakon yang justru punya andil lebih besar dalam insiden penahanan mereka, yang sayangnya mustahil terjangkau. Suara-suara para tahanan hanya menjadi nyanyian sunyi.

Suara-suara protes yang terbungkam banyak ditemukan dalam tokoh-tokoh tahanan lainnya. Ada Jalil, yang sebelum dieksekusi, dirinya kecewa pada ideologi, yang bukannya membawa keharmonisan justru berujung kehancuran. Ada pula lelaki yang berkali-kali mengetukkan tangannya pada kayu atau pintu, yang bertanya-tanya kenapa para penguasa tidak terketuk hatinya pada keadaan para tahanan. Ada lelaki shalat, yang selalu bertanya ‘apakah sudah waktunya’, yang lebih ingin mendekatkan diri pada Tuhan daripada mengeluh sepanjang waktu. Sementara lelaki yang menutup telinga seolah tidak ingin mendengar jeritan-jeritan saat truk pengangkut tahanan datang, dan teriakan-teriakan saat para tahanan dibawa atau diadili. Tidak ada satu pun dari mereka yang berdaya—nasib mereka ada di genggaman orang lain, entah siapa.

Ketidakberdayaan para tahanan kian diperkuat kuat dengan minimnya informasi tentang dunia di luar penjara. Jika diperhatikan, tidak ada penanda waktu dalam Puisi Tak Terkuburkan. Tidak jelas apakah adegan berlangsung pada waktu siang atau malam, pada hari, tanggal, bulan apa, serta pukul berapa. Informasi yang bisa ditangkap dari luar penjara hanyalah suasanya mencekam, sebatas suara kendaraan dan eksekusi tahanan.

Ibrahim Kadir, sebagai tokoh sentral dalam Puisi Tak Terkuburkan, menjadi kesatuan yang mengikat minimnya informasi dalam film. Ia adalah seorang sastrawan Gayo, yang kemudian terbukti tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dalam film, ia menjadi tahanan politik, yang harus tinggal dalam penjara tanpa bisa melihat dunia luar. Di sisi lain, ia juga menjadi orang yang secara langsung menyaksikan tahanan tumbang satu per satu.

Inilah yang menarik dari Puisi Tak Terkuburkan. Ini juga yang menjadikan film ini tetap relevan. Minimnya informasi luar penjara secara harfiah menempatkan penonton dalam sumirnya peristiwa 1965. Semenjak peristiwa G30S/PKI dan selama Orde Baru, segala narasi tentang peristiwa 1965 diambil alih oleh penguasa. Tema-tema yang diangkat adalah melulu soal kejamnya PKI dan betapa mereka berkhianat kepada negara. Informasi itu disebarkan secara besar-besaran ke seluruh penjuru negeri. Walhasil, apa yang masyarakat kita pahami tentang PKI kebanyakan persis seperti yang disuguhkan penguasa.

Lewat Puisi Tak Terkuburkan, Garin menempatkan Ibrahim Kadir sebagai perwakilan kita, masyarakat Indonesia. Kita adalah Ibrahim Kadir dalam penjara, yang tidak pernah diizinkan untuk membaca peristiwa 1965 secara utuh. Ada bayang-bayang yang sengaja menutupi tragedi kemanusiaan itu. Buku-buku sejarah menuliskannya dalam versi yang sesuai kepentingan penguasa. Sampai sekarang, belum ada teks maupun pernyataan resmi yang mampu mencerahkan persepsi kita.

Puisi Tak Terkuburkan | 1999 | Durasi 86 menit | Sutradara Garin Nugroho | Produksi PT Kampain Multimedia, Yayasan SET | Negara Indonesia | Pemeran Ibrahim Kadir, M Din, M Junus Melalatoa, Fuad Idris, Ella Gayo, Jose Rizal Manua, Pitrajaya Burnama, Aty Cancer, Amak Baldjun, El Manik, Berliana Febriantia

 

Sarjana sains lulusan Universitas Gadjah Mada yang punya hobi menulis. Beberapa kali juga pernah menjadi sutradara teater dan film. Berkegiatan sebagai volunteer di kineforum.

Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.

Comments


bottom of page