top of page

Para Pengelana Kota


Artikel ini disalin dari blog pribadi Eric Sasono.

Flaneurs #3 sempat hadir di layar kineforum dalam program Arus Bawah (3-16 April 2017).

 
Flaneurs #3 (Aryo Danusiri, 2013)

Belum pernah sebuah fragmen visual pendek sepanjang sekitar 4 menit membuat saya ingin menulis panjang tentangnya. Fragmen ini karya Aryo Danusiri, pembuat film dokumenter Indonesia yang juga seorang mahasiswa PhD antropologi di Universitas Harvard, Amerika. Ia tergabung dalam Sensory Ethnography Lab universitas Harvard yang dipimpin oleh pembuat film Lucien Castaing-Taylor. Karya ini dibuat Aryo sebagai bagian dari disertasi yang sedang dikerjakannya tentang Majelis Rasululloh, sebuah kelompok pengajian di Jakarta yang kerap melakukan perjalanan keliling Jakarta dengan menggunakan sepeda motor secara beramai-ramai dan menggelar pengajian-pengajian massal di tepi jalan.

Tentu godaan untuk membahas Majelis Rasululloh ini besar sekali dan tak akan terhindarkan dari pembahasan saya sendiri terhadap fragmen pendek yang diberi judul The Flaneurs #3 oleh Aryo ini. Sekalipun saya akan terus menghubungkan antara karya ini dan pemahaman saya tentang Majelis ini, perhatian utama saya tetap pada karya Aryo sendiri. (#3, biasanya menandakan draft ketiga).

Fragmen ini terdiri dari sebuah shot tunggal atas kerumunan pengikut pengajian Majelis Rasululloh. Sambil mendendangkan shalawat, para pengikut ini sibuk dengan kamera di telepon genggam mereka mengambil gambar para habib yang berada di atas panggung. Mereka berayun ke kanan ke kiri mengikuti irama sholawat, sambil terus sibuk dengan telepon genggam itu. Pengajian berakhir dengan pembagian air minum dalam botol oleh para habib, dan para pengikut itu setengah berebut meminta agar para habib melempar air kemasan itu ke arah mereka. Bisa dilandasi oleh motif haus atau motif mencari berkah, para pengikut dengan sabar menanti botol-botol minum itu sampai ke tangan mereka. Fragmen itu selesai sampai di sini, dan dengan begitu, karya ini berakhir.

Jika saya menyebut karya ini sebagai fragmen, saya tak ingin terlalu cepat menyimpulkan bahwa narasi dalam film ini sudah utuh sebagaimana layaknya sebuah film pendek. Namun saya memang harus mengakui bahwa fragmen itu sudah utuh dan narasi sudah terbangun, justru terutama dengan penjudulan The Flaneurs pada karya itu yang mengimplikasikan banyak sekali hal berkaitan dengan konsep-konsep sosiologis besar yang bermain di kepala saya yang tak seluruhnya tergambar dalam film. Inilah respons saya terhadap The Flaneurs #3.

Pertama, saya membayangkan para pengikut itu adalah para flaneur, para pengelana kota yang melakukan perjalanan dengan rute mereka sendiri untuk mendefinisikan kota sekaligus diri mereka secara sekaligus. Flanuer adalah para manusia yang membentuk massa perkotaan, yang dalam bahasa Walter Benjamin merupakan figur terpenting dalam kehidupan perkotaan. Mereka adalah figur yang teralienasi oleh kehidupan perkotaan dan kapitalisme kontemporer. Melalui mereka inilah massa urban perkotaan terdefinisikan, dan perjalanan flanuer berkelana di kota juga mendefinisikan diri mereka.

Pemberian judul ini menandai sebuah strategi intelektual yang berani dari Aryo Danusiri sekaligus menegaskan dirinya sebagai pembuat film yang membuat “suara” dalam film dokumenter ini. Para pelaku dalam The Flaneurs #3 tak mengeluarkan kata-kata dan pernyataan apapun sehingga mereka hadir relatif tanpa “suara” dalam pengertian metaforis, atau katakanlah tanpa argumen. Dengan melakukan penjudulan seperti ini, Aryo menjadi otoritas sekaligus menegaskan kehadirannya sebagai perekam dan pemberi definisi para orang-orang yang direkam ini.

Dengan “menjadikan” orang-orang yang direkamnya sebagai flaneurs, sebenarnya Aryo sedang menghadirkan sebuah alternatif dari sebuah model pengelanaan kota yang dimiliki oleh kelas menengah Indonesia. Jika city-strolling yang umumnya hadir dalam wacana tentang Jakarta adalah kehidupan di mal dan jalur-jalur utama Jakarta yang penuh kemacetan, maka dalam The Flaneurs #3, hal itu sedang dipertanyakan ulang.

Pertanyaan itu tidak diajukan secara eksplisit oleh Aryo dalam bentuk penggambaran perjalanan mereka untuk menuju tempat pengajian (yang kerap menjadi sumber protes kelas menengah lantaran dianggap menimbulkan kemacetan) tetapi dari permainan makna yang diimplikasikan oleh intervensi Aryo sendiri terhadap peristiwa pendek tersebut. Hal ini bisa diibaratkan sebagai sebuah bentuk “open-ending” dalam film, atau bahkan semisal strategi Masahiro Kobayashi dalam Bashing yang meletakkan konteks kultural persoalan di luar cerita film sama sekali.

Kedua, film ini menekankan pada hubungan antara flanuers dengan para habib yang menggambarkan ketakwaan beragama yang sudah berusia panjang sedang ditinjau ulang dengan cara baru. Ketakwaan semacam ini misalnya bisa dilihat dari usaha mencari berkah dari para habib yang sudah berlangsung sejak lama berlandaskan kepercayaan bahwa para habib ini adalah keturunan langsung Nabi Muhammad dan doa mereka bisa lebih ampuh ketimbang doa manusia biasa. Shalawat masif dan depersonifikasi para pengikut dalam The Flaneurs #3 ini mengindikasikan pola ketakwaan yang muncul dari hubungan antara personifikasi “orang suci” dan para pengikutnya yang merupakan semacam sinkretisasi antara Islam dengan spiritualitas pra-agama formal di Indonesia. Model yang sudah lama (dan mungkin akan terus ada) di Indonesia ini, dicatat oleh Aryo sedang mengalami perumusan ulang, terutama tentu karena adanya intervensi dunia digital.

Beberapa hal yang menarik dari perumusan ulang itu tentu saja perjalanan rutin yang dilakukan para pengikut ini (yang sudah dibahas di atas) yang turut mendefinisikan kota. Mobilitas mereka berubah dengan perjalanan sepeda motor yang masif di jalan-jalan kota Jakarta, mengindikasikan mobilitas sosial ekonomi para pengikut Majelis Rasulullah dan penegasan moda penyintasan (survival) individu di Jakarta sehubungan dengan kegagalan pengembangan moda transportasi massal di Jakarta.

Selain itu, yang tergambar langsung di dalam The Flaneurs #3 adalah keberadaan telepon genggam sebagai medium baru yang berpeluang memberi pengalaman berbeda dalam menjalankan ketakwaan ini. Selain foto-foto dan video yang diambil selagi pengajian (yang mungkin akan dipertukarkan sesama mereka), bisa dibayangkan hal-hal semisal penyebaran informasi dan pertukaran pengalaman (lewat aplikasi dan berbagai fitur telepon genggam lain) yang muncul dari sini. Bisa jadi saya meromantisir peran teknologi informasi dan dunia digital, tetapi mengabaikan sama sekali medium ini dalam perilaku beragama (sebagaimana perilaku manusia lain) juga sama juga overdramatisnya. Bisa jadi perlu ada semacam pembicaraan lebih jauh mengenai hubungan dunia digital dengan perumusan ulang ketakwaan manusia Indonesia.

Hal ketiga yang bisa jadi terpenting dari shot tunggal ini adalah kamera yang berada tepat di antara para habib dan pengikutnya. Tanpa panduan apapun dalam film ini, kecuali kredit di penghujung film yang menjelaskan lokasi dan tanggal pengambilan gambar, flaneurs#3 melangkah lebih jauh ketimbang observational documentary yang selama ini dikenal (lihat misalnya tulisan David Hanan tentang Aryo Danusiri sebagai pelopor observational documentary di Indonesia dalam buku Tilman Baumgartel (ed., 2012) Southeast Asian Independent Cinema).

Jika observational documentary berangkat dari obsesi mengurangi sedapat mungkin intervensi pembuat film, maka film dibuat tanpa narasi voice over ataupun non-diegetic title. Dalam hal ini “suara” sang pembuat film muncul lewat struktur cerita dan editing yang tak terhindarkan. Maka dalam karya sensory ethnography yang dihadirkan Aryo dalam The Flaneurs #3 (dan juga pada karya Aryo sebelumnya On Broadway) adalah kepercayaan bahwa ‘kebenaran’ (dengan huruf k kecil sebagai capaian tertinggi dalam permainan makna antara pembuat film dengan penontonnya) dapat dicapai melalui kemampuan sensor indrawi mata (juga jangan lupa, telinga). Gambar dan suara yang ada di dalamnya bicara sendiri secara visual dan auditory, membentuk ritme dan pengalaman indrawi sendiri yang khas dan independen dari narasi; dan pada akhirnya membentuk narasi.

Saya belum tiba dan mungkin tak akan tiba pada narasi The Flaneurs #3 sendiri, karena upaya untuk memprafrasekan narasi yang terbentuk dari pengalaman indrawi itu, menurut saya sampai sejauh ini, akan mencederai pengalaman Anda menonton film ini. Saya ingin Anda menonton sendiri The Flaneurs #3,silakan mengklik tautan di bawah ini dan masukkan kata sandi aryo123.

Comments


bottom of page