Artikel ini disalin dari Cinema Poetica.
Europe on Screen 2017 akan hadir di layar kineforum tanggal 8-14 Mei 2017.
Kunjungi www.europeonscreen.org untuk informasi film dan jadwal selengkapnya, dan ikuti berita terbarunya via akun media sosial @kineforum maupun @europeonscreen
Sebelum menonton di Erasmus Huis (foto: dokumentasi Europe on Screen 2016)
Europe on Screen merupakan prakarsa bersama perwakilan Eropa di Indonesia. Awalnya, perhelatan tahunan itu bernama Festival Film Eropa—pertama kali diselenggarakan pada 1990 kemudian pada 1999. Barulah pada 2003, festival tersebut berganti nama jadi Europe on Screen dan konsisten diselenggarakan setiap tahunnya sampai sekarang.
“Europe on Screen bertujuan untuk mendekatkan Eropa dengan Indonesia. Film-film yang kami tayangkan merupakan jendela untuk penonton Indonesia melihat Eropa lebih luas,” jelas Vincent Guérend, duta besar Uni Eropa di Indonesia.Melalui pemutaran film, Europe on Screen menjadi semacam bentuk diplomasi dan branding Uni Eropa di Indonesia.
Prinsip serupa turut dijalankan oleh sejumlah festival negara Eropa lainnya di Indonesia, seperti Festival Sinema Prancis oleh Institut Français d’Indonésie dan German Cinema oleh Goethe-Institut. Perbedaannya: skala. Dalam Europe on Screen, penonton diajak berkenalan dengan keragaman budaya, politik, dan sejarah suatu kawasan.
Antrian penonton di Goethe-Institut Jakarta (foto: dokumentasi Europe on Screen 2016)
Ruang Tayang
Europe on Screen, pada edisi ke-16 ini, menyajikan 78 film dari 22 negara di Eropa selama 29 April sampai 8 Mei 2016. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Europe on Screen membawa film-film ini ke sejumlah kota di Indonesia, berkolaborasi dengan pusat kebudayaan negara Eropa dan ruang kegiatan di masing-masing kota.
Di Jakarta, Europe on Screen hadir di Erasmus Huis, Goethe-Institut, Institut Français d’Indonésie, Istituto Italiano di Cultura, Bintaro Jaya Xchange Mall, dan Institut Kesenian Jakarta. Di luar Jakarta, Europe on Screen hadir di IFI Bandung, IFI Surabaya, IFI Yogyakarta, Rumah Sanur Creative Hub Denpasar, Dynasty Resort Denpasar, dan Grand Aston City Hall Medan.
Bagi Permata Adinda, pegiat Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Europe on Screen perlu hadir di kotanya. Karena, selain IFI, informasi film-film Eropa di Bandung masihlah terbatas. Europe on Screen membuka kesempatan bagi warga Bandung untuk menonton film dari berbagai negara Eropa. “Bagi saya, film-film Ukrania dan Rusia sangat berkesan. Dari Europe on Screen juga, saya tahu perkembangan teknis visual di negara semacam Rusia sudah sangat maju,” jelasnya.
Beda lagi dengan di Bali. Bagi Diah Dharmapatni, penanggungjawab kegiatan budaya Alliance Française Bali, acara semacam Europe on Screen harus lebih banyak ada lagi di Bali. Pasalnya, jumlah bioskop di Bali masih terhitung sedikit—itupun terpusat di Denpasar.
Diah Dharmapatni menyambut baik pemilihan lokasi pemutaran tahun ini.”Tahun ini kebetulan [Europe on Screen] di Rumah Sanur, yang merupakan pusat komunitas dan industri kreatif di Bali. Berbeda dengan tahun lalu. Venue tahun ini tidak hanya duduk di kursi, tetapi juga menyediakan lesehan. Makin seru, makin beragam,” tambahnya.
Permata Adinda juga bersepakat dengan pemilihan lokasi pemutaran di Bandung. “Lokasi pemutaran di Bandung sudah yang paling strategis. Lebih strategis dan lebih terbuka dibanding tahun lalu, yang venue-nya terdapat di kampus-kampus yang lokasinya lebih jauh,” katanya.
Untuk pemilihan lokasi pemutaran di kampus, Adinda Zakiah—mahasiswa FISIP Universitas Indonesia—kurang lebih berpendirian serupa. “Tujuannya kan memang untuk membangun branding Eropa, jadi lebih pas di kedutaan dan pusat-pusat kebudayaan, bukan di kampus. Aku juga suka suasana kedutaan, terlebih dengan informasi pagelaran budayanya,” kata Adinda Zakiah.
Pemutaran film-film Georges Méliès dengan iringan orkestra
(foto: dokumentasi Europe on Screen 2016)
Tontonan Alternatif
Europe on Screen 2016 mendapat tanggapan baik dari penonton Indonesia. Selama sebelas hari penyelenggaraan, tercatat sekitar 22.000 penonton mengisi dua belas lokasi pemutaran. Sebuah pencapaian yang mengagumkan, yang juga bisa dipahami mengingat Europe on Screen merupakan satu dari sejumlah festival yang menawarkan tontonan alternatif bagi khalayak Indonesia. Bagaimanapun juga publik butuh selingan, terutama dari sajian harian bioskop dan televisi selama ini.
“Biar nggak Hollywood terus. Apalagi gratis,” jelas Adinda Zakiah, tertawa. “Film-film Eropa berbeda dengan film-film Amerika yang selama ini kita tonton di bioskop. Bisa memberi sudut pandang baru buat penonton Indonesia.”
Pendapat serupa turut dilontarkan Iman Kurniadi—penonton dan penikmat film. Menurutnya, datang ke festival semacam Europe on Screen turut meluaskan wawasan menonton, bahwa film tidak hanya yang ada di bioskop atau film Hollywood saja. Film-film Eropa tidak kalah menarik. “Penceritaannya beda. Lebih otentik, lebih genuine. Hype penontonnya juga keren. Ngantri tiket bareng, ngantri masuk ruang pemutaran juga bareng,” jelasnya.
Beda lagi dengan Narindro Aryo Hutomo. Bagi sutradara Guna-guna itu yang akrab dipanggil Rendro, Europe on Screen penting sebagai tempat persinggahan karya dan gagasan dari Eropa. Ia bisa melihat kehidupan sosial dan budaya di sana, baik melalui fiksi, dokumenter, hingga animasi.
“Eropa sendiri dikenal sebagai asal muasal munculnya film. Mulai dari Lumière bersaudara memutar film pertama kalinya pada 28 Desember 1895. Prancis adalah titik balik perkembangan sinema. Dengan sinema kita bisa saling berbagi, tidak terbatas lokasi, jarak, ruang, dan waktu. Oleh karenanya, Europe on Screen penting untuk terus ada, sebagai wadah berbagi, baik antara pembuat film dengan penonton, maupun penonton dengan penonton,” ujarnya.
Suasana pemutaran di Goethe-Institut Jakarta (foto: dokumentasi Europe on Screen 2016)
Keragaman Film
Sajian film dalam Europe on Screen dikelompokkan dalam enam sesi: Xtra (film-film arus utama dan boxoffice), Discovery (bukan film arus utama), Docu (dokumenter), Retro atau Focus, Family, dan Open Air. Tahun ini Europe on Screen dibuka dengan Long Live Freedom karya Roberto Andò dan ditutup dengan The Surprise karya Mike van Diem.
Menurut Iman Kurniadi, Long Live Freedom sangat mewakili situasi perpolitikan Italia pada masanya—dan, baginya, kita perlu tahu itu. Film ini, dalam pengamatannya, dibuat dari sebuah kegelisahan. Seperti ada pesan yang ingin disampaikan, bahwasanya tidak ada perbedaan antara politikus dengan orang yang mempunyai kelainan kejiwaan. Oleh karenanya, Long Live Freedom jadi begitu kocak sekaligus satir. “Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini tidak ada kompetisi film pendek. Sayang sekali. Saya ingat sekali, di Europe on Screen 2013, saya ngobrol bersama Wregas [Bhanuteja], setelah menonton Senyawa, filmnya,” tambahnya.
Orizon Astonia, sutradara Pingitan dan Lewat Sepertiga Malam, paling tertarik dengan program Discovery. Baginya, film-film pilihan dalam program itu bisa membantunya menjelajahi berbagai rujukan rasa, baik untuk kepentingan penyutradaraan maupun untuk memahami perasaan sebagai manusia. Orizon menyukai The Lobster, film Yorgos Lanthimos, yang tayang di Europe on Screen tahun ini. Menurutnya, Lanthimos punya gaya tersendiri dalam mengarahkan filmnya. The Lobster berhasil membuatnya menertawakan persoalan jatuh hati—salah satu tragedi fundamental dalam hidup manusia.
Berbeda dengan Orizon, Rendro lebih tertarik dengan Recital Film Scoring yang diselenggarakan oleh Sjuman Music School. Program tersebut memutar sejumlah film pendek Georges Méliès, dari 1898 sampai 1911, dengan iringan musik Trinity Youth Symphony Orchestra. Sebelumnya ia pernah menonton A Trip to the Moon, film Méliès pada 1902, di kanal Youtube. Menonton kembali film yang sama dengan diiringi musik orkestra, baginya, adalah sebuah pengalaman menarik.
Bagi Ali Satri Efendi, pengelola Sinema Rabu, ada satu film penting yang terlewat dan tidak ditayangkan di Europe on Screen tahun ini: Son of Saul karya László Nemes. “Para penggemar film-film Eropa pasti juga berharap Son of Saul tayang. Film ini penting karena merupakan unggulan Festival Cannes, terlebih lagi menang di Golden Globe dan Oscar. Sayang sekali tidak ada di Line up tahun ini, mungkin tahun depan.” Katanya.
Albertus Wida, pegiat Liga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, menyayangkan perihal film-film yang ditayangkan di kotanya. “Aneh kenapa film yang tayang di Bandung tidak sama dengan yang tayang di Jakarta dan kota-kota lain. Di Bandung, hitungannya cuma sebentar, dan film-filmnya sedikit. Dan katanya juru programnya juga bukan orang Bandung,” tambahnya.
Satu usulan tambahan dari Orizon: catatan kurasi di katalog Europe on Screen. “Jadi kita bisa baca latar belakang pemilihan film-film tersebut. Nggak sekadar sinopsis,” jelasnya.
Antrian penonton di Erasmus Huis (foto: dokumentasi Europe on Screen 2016)
Catatan untuk Tahun Mendatang
Europe on Screen berikutnya diharapkan bisa menjaga, atau bahkan meningkatkan keragaman programnya. Nyatanya, Europe on Screen sudah berhasil menyentuh perhatian penontonnya. Dari tahun ke tahun, festival ini sudah punya penonton setianya. Perhatian penonton inilah yang harus terus dipertahankan dari tahun ke tahun, dengan mengupayakan kebaruan serta keragaman dalam setiap penyelenggaraan Europe on Screen.
Bagi Iman Kurniadi, jika tahun ini terdapat pemutaran dengan iringan musik orkestra, tahun berikutnya harus lebih bervariasi lagi. Bisa ditambah performans, pertunjukan teater, musik folk, atau tarian. Ia juga mengusulkan untuk ditambahnya program film-film pendek Eropa.
Iman juga memberi catatan terkait subtitle, karena ada beberapa film yang tidak berteks dari awal sampai akhir. Film-film tersebut memang sepenuhnya dalam bahasa Inggris, teks tetaplah dibutuhkan penonton. “The Cut berbahasa Inggris, tetapi tidak ada subtitle. Saya rasa penonton tetap butuh subtitle, walau [filmnya] bahasa Inggris sekalipun,” tambahnya.
Panji Mukadis, pegiat infoscreening.co, berharap Europe on Screen berikutnya lebih banyak mendatangkan sineas dan tokoh perfilman. Ia juga berharap Uni Eropa melalui bisa turut terlibat dalam perkembangan perfilman dan kegiatan komunitas film. Europe on Screen bisa jadi titik mulanya, karena ia berharap kolaborasi tersebut bisa berlangsung secara rutin dan tidak terbatas waktu acara.
Untuk penayangan Europe on Screen di Bali, Diah Dharmapatni mendapati banyak penonton yang menanyakan kurangnya film keluarga tahun ini. “Semua film untuk usia dua belas ke atas. Jadi harapannya, tahun selanjutnya, bisa lebih banyak ada film keluarga,” katanya.
Seorang penikmat keragaman. Baginya, menulis adalah tempat untuk bersenang-senang dan menertawai diri sendiri, juga untuk menuturkan kecintaannya terhadap film, musik, dan sastra.
Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.
Comments