Program diskusi Arus Bawah bertajuk "Yang Luput Dibicarakan Ketika Menonton Film Indonesia" diadakan pada hari Sabtu, 8 April 2017, 17:00. Simak catatan acaranya di bawah ini.
Bisa jadi, judul diskusi kineforum pada 8 April 2017 yang lebih tepat bukanlah “Yang Luput Dibicarakan Ketika Menonton Film Indonesia” karena yang dibicarakan adalah “yang luput dibicarakan film panjang Indonesia”. Antara lain, membahas topik-topik yang jarang digarap film panjang Indonesia dan menduga-duga sebabnya, serta membahas sejauh mana penonton Indonesia dianggap dalam produksi film panjang. Sisanya, diskusi mengalir saja dengan bahasan yang sangat sesuai sebetulnya dengan rangkaian program film “Arus Bawah” kineforum yang diadakan sepanjang 3–16 April 2017. “Arus Bawah” membicarakan narasi kecil orang-orang biasa yang secara khusus jarang terwakili dalam film panjang Indonesia.
Diskusinya sendiri berlangsung seru—terlalu seru malah—walau kurang fokus. Beberapa bahasan gagal dielaborasi lebih jauh, atau paling tidak, luput ditekankan sebagai catatan penting. Daripada menguap betulan dari ingatan, saya mencatat beberapa hal penting yang dilontarkan kedua pembicara, termasuk yang terpantik di dalam pikiran saya karenanya.
Dipandu oleh Ifan Ismail, perancang program “Arus Bawah”, dua pembicara yang diundang adalah Arief Ash Shiddiq (penyunting naskah film, bekerja di Wahana Penulis) dan Rival Ahmad (peneliti senior di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia). Yang pertama mewakili dunia film, yang kedua mewakili penonton umum. Komposisi yang jarang terjadi dalam kebanyakan diskusi film.
Poin penting pertama datang dari Rival Ahmad. Ia meminta kita untuk memeriksa kembali siapa yang sebenarnya kita maksud ketika menyebut “penonton Indonesia”. Apakah hanya mereka yang membeli tiket di bioskop di mal? Padahal, seperti yang dicontohkan Rival, ada masyarakat di daerah Sumba yang tidak memiliki sejarah budaya menonton film, sehingga ketika ada kandidat caleg yang memutar film, masyarakat begitu antusias menonton sehingga si caleg dengan mudah terpilih. Atau masyarakat di daerah gambut yang punya kehidupan yang unik. Begitupula masyarakat difabel yang memiliki cara menjalani hidup yang sangat berbeda dibandingkan kebanyakan orang.
Singkatnya, masyarakat Indonesia itu beragam. Tidak terbatas pada masyarakat kelas menengah urban yang umumnya dibayangkan sebagai penonton film panjang Indonesia. Selain kaya sumber daya alam, kita juga tidak pernah kekurangan masalah buat difilmkan. Sayangnya, seperti yang dikonfirmasi Arief Ash Shiddiq yang sering bekerjasama dengan berbagai produser film alias pemilik modal, kebanyakan produser film Indonesia masih memandang penonton hanya sebagai konsumen. Produser film juga luput, kalau bukan tidak punya kemampuan, untuk menyadari keragaman masyarakat Indonesia. Padahal, jika mereka memiliki kesadaran tersebut, praktis mereka bisa membuat film tentang apa saja karena pada akhirnya bakal selalu ada masyarakat yang merasa terwakilkan. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana memasarkan film-film itu supaya bisa ditonton masyarakat sasaran, termasuk pula mereka yang ingin memahami kehidupan masyarakat yang berbeda daripada dirinya sendiri melalui film. Soal itu butuh bahasan terpisah.
Poin penting kedua masih datang dari Rival, yang sekaligus menanggapi bocoran info dari Arief tentang bagaimana caranya produser film menentukan topik film macam apa yang cocok dengan selera penonton alias laku dijual. Caranya, tebak-tebak buah manggis, alias asal saja. Atau dalam kasus lain, si produser merasa yakin betul bahwa seleranya benar-benar mewakili “penonton Indonesia”. Belum ada riset mengenai penonton film. Produser film sendiri tidak mendukung supaya penelitian semacam itu bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih mumpuni, sekalipun hasilnya tetap bisa mereka jadikan bahan buat mendongkrak laba.
Sebelum bahasan berkembang terlalu jauh mengenai riset yang turut menjadi kelemahan akut dari semua jenis kesenian di Indonesia, Rival menekankan bahwa jangan-jangan selama ini terjadi kekeliruan dalam melihat aktivitas orang menonton film. Menurutnya, kegiatan menonton film sejatinya bagaikan membeli kucing dalam karung. Kita baru tahu film itu bagus atau tidak setelah kita selesai menontonnya. Ada banyak alasan yang memengaruhi keputusan kita menonton sebuah film. Salah satunya, menurutnya, adalah preferensi sosial.
Pernyataan itu menarik karena memang begitulah proses yang lebih sering terjadi. Kita bukan menonton film karena film itu bagus, melainkan karena film itu dianggap bagus atau setidaknya dibicarakan dalam lingkungan sosial kita. Kita menontonnya untuk membuktikan apakah film itu benar-benar bagus atau tidak bagi kita. Oleh karena itu, kita tidak bisa sekonyong-konyong bilang bahwa sebuah film tidak diminati penonton atau malah dengan semena-mena bilang bahwa selera penonton Indonesia payah (karena itu misalnya, penonton dianggap pantas untuk terus-menerus dijejali cerita hantu, cinta-cintaan, pukul-pukulan, maupun cerita-cerita agama yang sejatinya cuma bicara soal pemenuhan hasrat individu—atau gabungan dari semuanya), tanpa terlebih dahulu memeriksa faktor-faktor apa saja yang bisa membuat orang tergerak menonton film. Pada akhirnya, ini adalah persoalan bagaimana merebut hati penonton. Bagaimana, dalam istilah Rival, mengelola diskursus publik.
Ini menarik. Selain karena sudah saatnya kita berhenti buang-buang waktu membicarakan fenomena tebak-tebak selera penonton, persoalan diskursus publik ini bisa ditarik ke wilayah yang lebih luas. Dalam artian, bukan hanya meliputi film panjang yang menjadi bahasan utama diskusi ini, melainkan semua jenis film, termasuk film fiksi pendek dan film dokumenter yang sampai kadar tertentu lebih peka terhadap keragaman masyarakat Indonesia. Termasuk pula semua jenis ruang pemutaran. Bukan cuma bioskop yang kebanyakan menumpang di mal-mal kota besar melainkan juga komunitas-komunitas film yang sampai taraf tertentu, dengan segala keterbatasannya atau justru karena keterbatasannya, lebih dekat dengan publiknya.
Ditarik ke ranah itu, sambil menganggap bahwa ini—seperti istilah Rival—adalah pertarungan antar-lembaga atau komunitas pemutar film dengan bioskop besar dalam merebut hati penonton, narasinya bisa jadi seperti ini. Jika bioskop alternatif, komunitas film, atau apapun istilahnya—selama mereka memutar film-film yang bukan cuma film panjang yang sering diputar di bioskop-bioskop besar—hendak merebut hati penonton, maka rebut pula diskursusnya. Ini semacam bagaimana membuat penonton umum—bukan awam tetapi jelas lebih luas daripada publik film—menyadari bahwa ada tempat-tempat selain bioskop besar yang memutar film-film yang lebih peka terhadap keragaman masyarakat Indonesia. Setidaknya, bukan film-film yang dibuat sebagai barang dagangan semata, yang merendahkan penonton menjadi sekadar konsumen belaka. Caranya bagaimana, itu lain soal. Bukan berarti pula usaha itu tidak terus-menerus dilakukan selama belasan tahun sejak 2000-an dengan berbagai keterbatasan dan hambatannya oleh berbagai ruang dan komunitas pemutaran film alternatif.
Merebut diskursus publik menjadi semakin penting hari-hari ini karena berdasarkan tuturan Arief, kita bisa menyimpulkan bahwa yang selama ini dianggap kebanyakan orang sebagai industri film Indonesia itu sesungguhnya tak lebih daripada industri rumahan, kondisi yang tak jauh berbeda sejak 1950-an. Betul, industri film Indonesia sesungguhnya tidak jauh berbeda dari industri rumah tangga, terbukti dari kurangnya infrastruktur dan lembaga yang memadai untuk menopangnya; dan hingga kini belum dianggap sebagai industri yang layak dibantu lewat mekanisme perbankan. Bukti lain yang menarik: produser film selama ini tidak pernah memasarkan film-film mereka seperti perusahaan pada umumnya memasarkan produknya, selain cuma melakukan promosi standar. Apakah pemasaran tersebut tidak dilakukan karena produser film selama ini terlena dengan kemudahan akses distribusi terkait monopoli bioskop, itu masih perlu dikaji lebih lanjut. Paling tidak, yang selama ini dibayangkan bahkan oleh kalangan film sendiri sebagai raksasa sebenarnya sangatlah lamban, kalau bukan terbelakang.
Bisa jadi, perlu waktu lebih lama untuk mengembalikan keragaman hidup penonton ke dalam film panjang Indonesia yang tayang di bioskop-bioskop besar. Tapi tidak perlu begitu bagi jenis film lain yang dikelola oleh ruang pemutaran yang berbeda. Tidak sedikit komunitas film—belakangan juga produser film skala kecil—yang dengan segala uji cobanya, terus-menerus menjalin hubungan dengan penonton mereka masing-masing. Penonton dalam pengertian publik, bukan konsumen. Bagaimana caranya agar penonton umum bisa terpapar dengan tontonan yang lebih beragam, sehingga pelan tapi pasti film-film berorientasi laba yang tidak peka terhadap keragaman hidup masyarakatnya akan dengan sendirinya ditinggalkan penonton, itu soal lain, yang membutuhkan diskusi lain lagi.
Seorang editor, desainer, produser lepas, dan salah seorang dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Comments