Artikel ini disalin dari Infoscreening.
Program Kawah Candradimuka hadir di layar kineforum pada 11-24 Januari 2018.
Kawah Candradimuka menjadi tema bulan Januari sekaligus menjadi pembuka tahun 2018. Berlangsung dari tanggal 11-24 Januari 2018, nama "Kawah Candradimuka” ini terinspirasi dari cerita rakyat, yaitu Gatotkaca yang direbus di dalam kawah mistis. Di sanalah Gatotkaca melalui proses digembleng dan ditempa. Maka kineforum hadir dengan tema bulan ini untuk menafisrkan bagaimana setiap insan untuk menghadapi setiap proses pendewasaan yang terjadi di hidupnya. Tidak peduli umur, proses pendewasaan itu seperti yang kita tahu pasti akan terjadi dalam kehidupan manusia. “Hidup tidak selalu hitam dan putih tetapi pasti pernah warnanya abu-abu, dari sana kita tahu bagaimana kita harus menghadapi itu” lansir Ifan Ismail ketua program Kawah Candradimuka. Bijaksana, mengerti, berupaya menghadapi dunia di luar dan emosi di dalam merupakan hal-hal yang ingin disampaikan dalam program.
Program yang dibagi dalam 3 rubrik yaitu Adikarya Masa yang merupakam sebuah karya seni dan eksperimental, Corong Karsa yang merupakan sebagai alat komunikasi, dan Nuansa Kawula yang hadir sebagai pemanis dan pemuka tawa tetapi tetap di bawah latar Kawah Candradimuka.
Salah satu film yang hadir di program kali ini adalah Love and Shukla. Film ini menjadi pemenang di NETPAC Award di JAFF 2017. Film karya Jatla Siddartha ini bercerita mengenai seorang pria India dari kasta brahmana miskin bernama Shukla. Menceritakan proses dari Shukla yang hidup dengan keluarganya dan mulainya kehidupan barunya bersama istri.
Bukan hanya itu, film yang terkenal dan sempat menuai kontroversi pada tahun 70an yaitu Yang Muda Yang Bercinta yang disutradarai oleh Sjumandjaya juga hadir di bulan ini menjadi salah satu refleksi anak muda yang hidup dalam hal yang disenangi, yaitu puisi dan sajak serta percintaan yang membuai setiap kaum muda. Diperankan oleh W.S. Rendra, sosok Sony di cerita ini akan membawa penontonnya ke masa muda dan proses pendewasaan di dalamnya.
Kompliasi film di bulan ini memberikan saya pengetahuan mendalam dari nilai-nilai tentang proses pendewasaan yang saya tidak sadari ketika menonton itu sebelum mengikuti program Kawah Candradimuka. Misalnya saat menonton Galih dan Ratna (Lucky Kuswandi) sebuah film seputar cinta pertama yang tidak selalu terasa indah. Hal ini baru saya dapatkan ketika menonton kembali film tersebut dalam program ini.
Film lain yang hadir dan sempat saya tonton antara lain The 400 Blows (Francois Truffaut), sentuhan analog dari Eliana, Eliana (Riri Riza), Manchester by the Sea (Kenneth Lonergan), dan We Are the Best! (Lukas Moodysson).
Program ini menyadarkan saya bahwa film-film dengan tema ini berdampak luas. Misalnya saja The Perks of Being a Wallflower (Stephen Chobsky) membangunkan pemikiran remaja di dunia dan menjadi salah satu film adaptasi terfavorit. Film yang berpengaruh untuk saya dan merupakan proses pendewasaan adalah Mean Girls (Mark Waters) menjadi sebuah film yang sangat relevan di kehidupan remaja anak perempuan dari tokoh yang diperankan Lindsay Lohan tersebut.
Bulan ini juga dilengkapi degan salah satu program Gemar Film Pendek (GFP)#3 (bekerja sama dengan Boemboe) pada tanggal Minggu, 14 Januari 2018. Sesuai dengan tema bulan ini, GFP juga menghadirkan film-film pendek bertemakan pendewasaan yang bisa terjadi dimana, kapan, dan pada siapa saja. Antara lain film pendek yang diputar adalah Pulang Sekolah (Rio Sumantri), Outgrowth (Jason Kiantoro), Ijolan (Eka Susilawati), Keluarga Satu Setengah (Raffael Arkapraba G, Michaella Clarissa Levi, Robert Sunny), dan Dewi Pulang (Candra Aditya).
(foto: Kevina Graciela Dris)
Setelah pemutaran film diskusi yang berlangsung dihadiri oleh sutradara dari Dewi Pulang yaitu Candra Aditya. Cerita mengenai seorang anak rantau yang kembali karena Ayahnya yang meninggal. Hubungan dengan Ibu yang kurang baik dan kembalinya ke kampung halaman merupakan hal-hal yang tanpa dirasa membuat perubahan dan gejolak di diri Dewi. Candra menjelaskan bahwa film ini menggambarkan kejujuran dari sosok Dewi anak perempuan yang sudah nyaman di kota. Tanpa sadar semua orang yang merantau dapat merasakan emosi yang tokoh utama rasakan. Film ini pun turut didukung oleh Kemendikbud. Candra juga menjelaskan alasan mengapa Dewi tidak menangis dan sedih ketika kembali karena semua tradisi yang mengikat bahkan tidak ada mayat ayahnya saat itu. Saya awalnya merasa aneh dengan hal mengapa Dewi tidak menangis atau menunjukan berduka, tetapi ketika mendapat penjelasan dari sang sutradara akhirnya saya mengerti. Latar belakang dari tokoh utama ternyata cukup kuat dan pemberian kesan “penasaran” pada bagian film sengaja Candra berikan ruang untuk kita berpikir.
Dua film animasi yaitu Outgrowth (Jason Kiantoro) dan Keluarga Satu Setengah (Raffael A.G., Michaela C.L., Robert S.) juga berilustrasi tanpa dialog tetapi berhasil mengarahkan penonton mengenal dewasa dengan cara yang berbeda. Tidak menyangka perkembangan film animasi juga sudah bisa menyentuh dan mengritisi tentang permasalahan orang tua di film Outgrowth dan permasalahan psikis di Keluarga Satu Setengah. Sehabis menonton Approved for Adoption (Laurent Boileau & Jung) mengenai anak yang diadopsi, saya melihat banyak hal-hal baru di perkembangan film animasi. Hal-hal yang mungkin dianggap tidak sesuai dengan kesan animasi justru jadi terlihat seimbang dan berkesan.
Sedangkan Pulang Sekolah (Rio Sumantri) menceritakan dari sisi anak sekolah dasar yang orangtuanya sibuk dan lupa akan anak mereka yang harus dibimbing dan dimengerti dalam tumbuh kembangnya, di sisi lain sang anak akhirnya juga belajar banyak dari supir antar jemputnya yang selalu menemaninya setiap hari. Terakhir ada Ijolan (Eka Susilawati) yang menceritakan anak remaja kembar Nur yang difabel dan Ratih dalam mengerti moral kehidupan.
Saya mendapatkan paradigma yang berbeda-beda dari kompilasi film pendek ini. Proses pendewasaan yang terjadi ternyata bisa berbentuk apa saja. Dalam film Ijolan ( Eka Susilawati) misalnya, dalam segmentasi untuk berbohong dan berusaha untuk masa depan walaupun rumah mati lampu berhari-hari. Dari film ini saya seperti melihat setiap jejak memori setiap sikap-sikap yang sudah saya lewati tanpa sadar dikritisi.
5 film pendek ini membawa rasa baru dalam GFP#3. Warna baru dari segala genre dengan pesan moral yang mengaitkan hal-hal yang tidak bisa kita lihat secara kasatmata.
Diskusi Asik
Seperti bulan-bulan sebelumnya, sesi diskusi tematik dengan kembali diadakan. kineforum mengadakan SESI: BUKA-BUKAAN (20/1) mengenai dewasa di era saat ini. Diskusi dengan cara yang baru dan seru membuka mata, telinga, maupun hati peserta yang datang untuk bisa dengan lantang berpendapat dan mencurahkan pikiran dan isi hati mengenai pendewasaan. Pembicaraan yang dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan refrensial tetapi menjadi intim dan dapat menggugah pikiran.
Rival Ahmad sebagai fasilitator memimpin diskusi unik ini. Saya yang baru merasakan diskusi seperti ini merasakan hal yang berbeda. Karena bukan dengan satu arah dan formal, saya bisa berbicara di suatu kursi dan menyampaikan pikiran saya. Tanpa sadar ketika keluar dari tempat, hati dan otak saya seperti menyatu mengambil hal-hal yang baik dari diskusi tersebut.
Program Khusus Pemutaran Film dan Diskusi Ahu Parmalim
Ahu Parmalim (Cicilia Maharani), menjadi pilihan untuk pemutaran film yang diikuti diskusi di program khusus bulan ini. Program dari Kampung Halaman dan In-Docs ini memberikan film dokumenter tentang kehidupan seorang penghayat kepercayaan Parmalim. Kepercayaan yang ada di Sumatera Utara di film ini bertempat di Berastagi dengan sosok Charles Butar-Butar (17 tahun) sebagai sosok yang menceritakan kehidupan dimana lingkungan sudah mengakui adanya kepercayaan selain 6 agama yang tercatat di Kementrian Agama.
Diskusi yang berlangsung bersama Ayu Kartika Dewi (Perumus Sabang Merauke), Dian Herdiany (Produser), Sastha Sunu (Co-Produser Ahu Parmalim) dan dimoderasi oleh Jonathan Manullang kemudian membuka mata penonton di luar fakta bahwa Mahkamah Konstitusi sudah membolehkan pengosongan agama di KTP. Namun dalam hal lain penganut kepercayaan juga ingin diakui secara nama. Interaksi sosial Sumatera yang ditunjukan dalam film Ahu Parmalim ini memberikan contoh manusia saling menghargai dan pengakuan lewat lingkungan maupun pendidikan. Penonton memberikan pertanyaan dan mulai mengritisi salah satu permasalahan di Indonesia mengenai diskriminasi yang kerap kali terjadi dan sering terlupakan.
Kawah Candradimuka adalah sebuah tafsiran yang tanpa sadar kita hadapi dalam kehidupan kita semua. Lewat kompilasi film maupun serangkaian diskusi kita dapat melihat tafsiran dari “Kawah Candradimuka” nyatanya bukan hanya tempat, tetapi bisa saja hal-hal yang datang maupun pergi, atau orang-orang di sekitar yang bisa berubah. Karena umur hanyalah sebuah angka dan proses mendewasakan setiap insan tidak akan berhenti.
Tulisan ini dibuat dalam rangka keikutsertaan dalam program Open Call: Mengalami Kineforum yang diinisiasi oleh Infoscreening.
Comentários