top of page

Jangan Ada Bala di Antara Kita (Catatan diskusi kineforum Mei 2017)


Program diskusi Menolak Bala bertajuk "Kenali Perlawananmu" diadakan pada hari Sabtu, 20 Mei 2017, 17:00. Simak catatan acaranya di bawah ini.

 

Mei, dalam sejarah dan ingatan kita, adalah bulan pergolakan yang hingga kini belum usai. Di Indonesia pada Mei 1998, kekuasaan otoriter ditumbangkan. Namun, warisan rezim itu masih terus merongrong kehidupan bangsa dan negara kita hari ini. Tidaklah berlebihan bahwa tema program kineforum bulan ini adalah Menolak Bala, yang diwujudkan lewat pemutaran lima belas film dan diskusi setiap akhir minggu selama sebulan ini. “Menolak Bala”, dalam hal ini, tak jauh dari melawan, tentu dalam berbagai perwujudannya. Memang, bala ternyata muncul di mana-mana dari tataran keluarga hingga negara, dan korbannya berjatuhan tanpa pandang bulu.

Akhir-akhir ini, kita pun berhadapan dengan bala yang memecah-belah masyarakat, yang menjungkirbalikkan rasa keadilan, yang membuat keluarga-keluarga saling bertengkar dan pertemanan terkoyak. Kehendak mengintimidasi mendadak merajalela sehingga muncul rasa takut untuk mengekspresikan pendapat di depan umum. Bahkan, ada bala yang meminta bayaran nyawa dan mengancam apa yang selama ini menjadi jaminan hidup bersama sebagai orang Indonesia. Riuh-rendahnya informasi yang sampai ke tangan kita ikut menjadi bala; hasutan, fitnah, dan kabar bohong seringkali tak dapat ditelusuri lagi ujung-pangkalnya.

Dihadiri dua pembicara yang namanya tak asing lagi dalam ranah mereka, diskusi kineforum Sabtu lalu (20/06/2017) mengangkat tajuk Kenali Perlawananmu. Pembicara pertama adalah Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang harum namanya dalam kajian-kajian sastra, budaya, dan gender. Pembicara kedua adalah Asfinawati, pengacara publik dengan pengabdian dalam kasus-kasus penindasan dan diskriminasi terhadap minoritas, yang akhir tahun lalu terpilih sebagai Direktur YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

Walaupun berambisi mulia, yaitu merunut pola pikir perlawanan sejak masa pendidikan terdasar, membangun kesadaran kritis untuk mengenali bala, dan memberdayakan perlawanan di level masyarakat, tentu diskusi sesingkat ini bukan forum yang sungguh memadai untuk mengupas tuntas topik-topik tersebut. Menelusuri satu-satu apa saja yang menjadi bala sudah merupakan pekerjaan melelahkan, apalagi menentukan langkah-langkah tolak bala yang efektif untuk dilakukan bersama-sama. Pada akhirnya, diskusi ini lebih menjadi ajang berbagi dan menguatkan, yang tak kalah penting di tengah ketidakpastian sosial, politik, dan hukum dewasa ini; ajang curhat hangat yang dibutuhkan siapa pun yang ingin melihat semburat harapan di tengah kekalutan dewasa ini.

Diskusi dibagi menjadi empat bagian, masing-masing diawali dengan pemutaran trailer film yang mewakili sebuah seksi dalam tema Menolak Bala. Keempat seksi tersebut adalah Keluarga Bencana, Seni Membangkang, Kuasa Massa, dan Provokator Budiman.

Seksi pertama, Keluarga Bencana, diwakili oleh The Window, besutan sutradara Nurman Hakim (2016), dengan pemain antara lain Titi Rajo Bintang dan Landung Simatupang. Film ini menggali kisah seputar tekanan norma patriarkal dan otoritarianisme yang merenggut dan merusak hak hidup individu, khususnya perempuan. Lewat penokohan utama perempuan yang baru kembali setelah sepuluh tahun meninggalkan keluarganya, penonton mendapati sebuah keluarga dengan ayah yang otoriter, kakak perempuan penderita penyakit mental yang hamil, dan ibu yang berusaha menjaga “harmoni” dengan cara meniadakan diskusi.

Dalam pembahasan mereka, baik Melani Budianta maupun Asfinawati menggarisbawahi bagaimana keluarga menjadi salah satu wujud nyata sistem patrimonial Orde Baru—hantu sesungguhnya, tentu saja, yang masih menghantui bangsa kita hingga hari ini. Keluarga, unit sosial paling intim, dapat menjadi sumber trauma yang dalam dan berlangsung sepanjang hidup. Perempuan khususnya menempati posisi paling rentan di bawah sistem itu.

Dalam suasana Mei, simbolisasi perempuan yang diperkosa dalam film jelas mengingatkan pada 1998, tahun di mana rangkaian kekerasan meliputi perkosaan massal terhadap perempuan keturunan Tionghoa, yang hingga kini belum juga jelas siapa dalang dan pelakunya; bahkan kebenarannya disangkal oleh berbagai pihak. Hingga hari ini tidak ada seorang pun yang bisa ditunjuk batang hidungnya atas tindak kejahatan biadab ini meski temuan-temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) memperlihatkan indikasi operasi militer. Luar biasa.

Dalam cerita, posisi ibu sebagai penjaga harmoni, menurut Asfinawati, menggambarkan dengan sangat baik realitas yang ada. Dari pengalamannya, dalam banyak kasus kekerasan rumah tangga peran ibu sangat problematis. Ibu menjadi korban sekaligus pihak yang turut melanggengkan kesewenangan patriarkal dan menjadi sasaran kemarahan sang anak sebagai korban kekerasan yang sesungguhnya. Menurut Melani, sebagai ibu, ia bisa mengerti bagaimana beratnya dilema menyeimbangkan tuntutan sosial maupun individual sang anak. Namun, ia menambahkan, pada satu titik ibu harus mengambil sikap dan berpihak. Mana yang lebih penting? Tuntutan masyarakat atau kebaikan individual anak?

Diskusi makin seru ketika seorang peserta melempar pertanyaan tentang hukum dalam konteks keluarga; seberapa kuat individu dilindungi oleh hukum dalam konteks keluarga. Kenyataannya, seperti yang dijelaskan Asfin, Indonesia mengalami “inflasi” aturan perundangan; banyak produk hukum yang mengatur keluarga. Tapi bukannya melindungi individu dalam keluarga, hukum lantas menjadi alat politik dan dimanfaatkan untuk mengontrol warga atas dasar kepentingan segelintir orang atau penguasa atau rezim. Alhasil, tetap saja, korbannya adalah mereka yang posisinya rentan dalam patriarki, tepatnya perempuan dan anak-anak. Sejak 1998 sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya untuk membebaskan keluarga dari jerat bala tersebut, misalnya lewat pendirian Komnas Perempuan dan Crisis Center. Namun, semua ini masih harus dikawal bersama-sama.

Untuk membuka seksi kedua, Seni Membangkang, diputar trailer Kantata Takwa (Eros Djarot dan Gatot Prakosa, 2008) yang menyajikan kesaksian seniman-seniman tentang represi Orde Baru menyusul pelarangan konser Kantata Takwa pada 1991. “Diperam” selama delapan belas tahun pembuatan, film ini bisa jadi memunculkan tafsir yang jauh dari maksud para pembuatnya jika ditonton oleh mereka yang, misalnya, tak mengalami era Orde Baru. Bagi Asfin, kengerian Orde Baru sungguh terasa dari film ini lewat darah yang muncrat atau siksaan fisik, dan inilah yang perlu dikenali oleh generasi yang lebih muda. Menurut Melani, simbol-simbol yang dipakai dalam film perlu dibaca dengan cermat, misalnya jilbab sebagai simbol moral kebenaran dan perlawanan. Dasawarsa 1990-an, saat berada pada salah satu puncak kekerasannya, Orde Baru menempatkan agama dalam posisi berbeda. Institusi pendidikan melarang penggunaan jilbab dan kebebasan ekspresi umat Islam ditekan. Tak heran jika agama dimanfaatkan sebagai sumber energi perlawanan. Namun, jilbab sebagai simbol perlawanan tentu memunculkan keraguan hari ini saat agama dipakai sebagai alat politik perebutan kekuasaan. Alih-alih menimbulkan kedamaian dan kekuatan perlawanan, massa berjilbab hari ini menimbulkan kegelisahan dan rasa tertekan bagi mereka yang di-liyan-kan dan rasa sedih bagi mereka yang tidak setuju agama menjadi perpanjangan tangan perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, menonton film ini harus pula memahami konteks zaman dan apa yang hendak dikritik oleh para pembuat film tersebut.

Satu bahasan menarik dalam hal seni dan membangkang ini muncul lewat pertanyaan seorang hadirin, yaitu bagaimana menyikapi karya seni dengan tujuan politik progresif, yang harus didukung, tetapi melibatkan unsur-unsur yang tidak autentik atau menyalahgunakan sumber. Dengan kata lain, seniman mempertaruhkan integritas diri dan karyanya. Jawabannya, sederhana saja, jangan bertahan dengan satu versi. Buat sebanyak-banyaknya karya dalam berbagai versi, yang penting sebagai masyarakat kita menjaga kesinambungan dengan sejarah.

Seksi ketiga, Kuasa Massa, diawali dengan pemutaran I Am the People (Anna Roussillon, 2014), yang menyajikan kisah kronologi revolusi Mesir 2011 dan dampaknya bagi sebuah keluarga di pelosok selatan negeri itu dalam periode tiga tahun setelahnya. I Am the People menghadirkan fenomena-fenomena yang dialami suatu masyarakat usai tumbangnya sebuah rezim otoriter: politisasi publik, kemerdekaan berpendapat dan memilih, dan pilihan-pilihan dalam demokrasi itu sendiri. Bagi Melani, film ini menjadi sumber kehangatan dan kekuatan lewat euforia demokrasi, seperti yang dialami Indonesia saat Suharto baru saja berhasil diturunkan. Harapan pun terpancar lewat sosok anak perempuan muda yang kritis dan tajam menganalisis; juga sosok sang ayah yang yakin akan demokrasi dan haknya untuk bersuara. Di sisi lain, bagi Asfin, film ini seolah “penerawangan” masa depan, artinya, mengingat Mesir yang kini jatuh kembali ke tangan pemerintahan militer, ia tak ingin Indonesia mengalami hal serupa. Demokrasi harus dijaga, jangan sampai jatuh ke tangan-tangan mereka yang ingin menghancurkannya lewat proses demokratis.

Seksi terakhir, bertajuk Provokator Budiman, menyajikan trailer Give Up Tomorrow (Michael Collins & Marty Syjuco, 2012), sebuah dokumenter pemenang banyak penghargaan yang mengkampanyekan kebebasan Paco Larrañaga, seorang narapidana pembunuhan dan perkosaan dua gadis di Filipina. Kasus tahun 1997 itu berawal dari hilangnya kakak-beradik Marijoy dan Jacqueline Chiong di Cebu, dan ditemukannya jasad yang diperkirakan salah seorang dari mereka tak lama sesudahnya. Paco, pada malam sial itu, sesungguhnya berada di Quezon City, di pulau yang berbeda, tapi kesaksian teman-temannya yang berada bersamanya saat itu diabaikan. Bersama enam orang lain, Paco diadili dan dihukum penjara seumur hidup dalam proses pengadilan yang disorot media habis-habisan—mungkin serupa dengan kasus kopi beracun di negeri kita beberapa waktu lalu. Naik banding, Paco justru divonis hukuman mati.

Film ini dibuat dengan keterlibatan saudara jauhnya untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami Paco, dan sejauh ini berhasil membuat sebagian kalangan media Filipina mempertanyakan kembali peran mereka dalam “trial by the press” dan dampaknya yang membentuk persepsi publik bahwa Paco sudah pasti bersalah.

Bagi Melani, film ini adalah yang paling berat yang ia tonton, dibanding yang lain, karena paling dekat dengan realitas kita sekarang. Menurutnya, yang paling menohok, seluruh landasan yang menjadi dasar kita berdiri sebagai warga untuk dapat merasa aman, yaitu hukum, institusi penegak hukum, dan aparat negara; semuanya dapat dibajak untuk kepentingan politik sebuah golongan. Paco adalah sosok yang mudah di-liyan-kan: keturunan Spanyol dari sisi ayahnya, berkulit putih, dan berasal dari keluarga berada. Ini cermin yang berat untuk dilihat, karena di negara kita pun hal yang sama berlaku. Emosi publik untuk membunuh dan melakukan pembalasan atas sesuatu yang dipersepsikan sebagai kejahatan memang mengerikan. Dan sosok liyan begitu mudah menjadi target dalam kasus apa pun—penistaan agama adalah contoh gamblangnya.

Sementara itu, bagi Asfin, film ini termasuk yang mudah diduga karena ia sudah tahu apa yang akan terjadi dalam tahap-tahap peradilannya. Dari pengalamannya sebagai pengacara publik, ia merasa kasus ini mewakili pertanyaan luar biasa tentang sistem hukum. Dalam peradilan, ternyata seringkali yang dicari dan diputuskan bukanlah kebenaran. Jadi, kebenaran bukan digali melainkan dipersepsikan. Siapa yang mampu menciptakan persepsi kuat, dialah yang dapat meyakinkan majelis hakim untuk menjatuhkan putusan seperti apa. Argumen dan bukti sesahih apa pun bisa saja tak berarti apa-apa pada akhirnya. Persepsi kerumunan akan melanda bagai air bah yang menelan siapa pun yang sedang terkena sial sebagai tersangka. Berkali-kali pengalaman Asfin membuktikan bahwa pengadilan bukan tempat mencari kebenaran melainkan mencari tahu persepsi siapa yang lebih kuat.

Melibatkan para peserta diskusi, pembahasan merambah kasus-kasus lain, misalnya pelecehan seksual jurnalis di Medan tahun lalu yang buntu di pengadilan militer dan proses penyelidikan Sitok Srengenge yang tak membuahkan keadilan bagi korban dan memunculkan dilema bagi kalangan seniman—mendukung atau menolak seni Sitok. Jika hukum tak dapat menjadi tempat bersandar, lantas bagaimana kita menyikapi kasus-kasus yang tak terurai dengan jernih? Bagaimana supaya kita tidak jatuh dalam keadilan jalanan yang barbar? Melani dan Asfin kemudian sama-sama mengungkapkan metode tribunal sebagai salah satu cara menegakkan keadilan; sebuah forum publik yang menarik batas tegas antara korban dan pelaku. Namun, tentu tribunal bukan jalan akhir. Bagaimanapun, tegaknya hukum harus diperjuangkan. Dan itulah tugas berat nan panjang dalam kebersamaan kita yang luar biasa, yang bernama Indonesia.

 

Editor, penerjemah lepas, dan peminat bidang-bidang humaniora.

Comments


bottom of page