top of page

BONGKAR BRANKAS


The Beatles bernyanyi "I don't care too much for money, money can't buy me love". Nasihat serupa juga sudah sering kita dengar. Tapi nyatanya, harta sudah menjadi obyek aspirasi dan penggerak motivasi banyak orang saat ini. Pernah dengar yang namanya kapitalisme? Yang suka mengolah harta sebagai modal untuk mendapat lebih banyak lagi?

Ada juga yang mengatakan bahwa uang atau harta bisa membuat bahagia sampai titik tertentu saja. Lewat titik itu, harta malah akan menjadi beban atau bahkan sumber duka. Seperti juga dalam banyak hal tentang niat, niat awal mengakumulasi harta adalah wajar adanya. Kita membutuhkan uang secukupnya untuk lancar menjalani kehidupan. Secara teori, rasa aman yang diberikan dari kecukupan, bisa memberi kita kesempatan untuk hidup yang lebih bermakna. Tetapi di mana batasnya yang “cukup” itu? Apa pula artinya "cukup"?

Seperti dendang Madonna, "cause we are living, in a material world...", sikap posesif-nyaris-obsesif manusia terhadap harta tak ubahnya orang kecanduan. Sialnya, masalah sehubungan harta itu tidak pernah hanya berhenti menjadi problem pengampunya. Ada kalanya, harta muncul seperti kutukan, akan melempar nasib buruk ke manusia lain, ke sekeliling, bahkan ke dunia. Di sana terkias peran harta yang berubah-ubah, selabil mood remaja tanggung: dari alat menjadi tujuan, dari tujuan menjadi godaan, lantas jadi malapetaka.​

Di bulan Desember yang sering juga jadi bulan tutup buku, program kineforum kami beri tajuk Bongkar Brankas. Sepanjang tanggal 7-20 Desember 2017, kami hadirkan 14 film panjang, satu sesi diskusi, serta dua program kolaboratif: pemutaran film diikuti diskusi bersama Sekolah Kembang dan satu kompilasi film pendek yang disusun bersama Organisasi boemboe.

Mari berjumpa di kineforum tuk jelajahi beragam hubungan harta dengan manusia... suka dukanya, berkahnya dan bencananya.​

1. Kilau Semu

Tidak semua yang berkilau itu emas. Ungkapan ini terlacak jauh ke jaman Shakespeare, Chaucer, atau bahkan lebih jauh lagi, Aesop. Tampaknya sudah jadi kenyataan biologis lintas spesies bahwa yang berkilau selalu dianggap memikat. Baik ngengat maupun manusia, sama-sama tertarik pada yang gemerlap. Dalam kasus manusia, ketertarikannya pada yang berkilau sangat terkait dengan kebutuhan dan keinginannya untuk memiliki.

Tetapi barangkali fakta tentang ngengat dan kilau cahaya bisa menjadi ilustrasi yang menjelaskan hubungan kita dengan segala yang memesona untuk dimiliki. Ngengat menjadikan cahaya bulan sebagai patokan navigasi. Terhadap cahaya imitasi semacam lilin atau lampu, ngengat bukannya dapat patokan navigasi, tetapi malah kebingungan, sehingga itu kenapa mereka berputar-putar mengelilingi lampu. Kilau yang semu tidak memikat, tetapi membingungkan. Mungkin itu juga kenapa manusia kerap terbutakan dan bertindak gegabah begitu ada pesona kilau yang memikat untuk dirasa bisa dimiliki.

Seksi program ini terdiri dari empat film panjang, yaitu:

  • The Bling Ring – Demi mendapatkan gaya hidup yang selama ini hanya bisa dikagumi di lembar-lembar majalah, sekelompok anak muda mengkhususkan diri mencuri dari pada idola yang berkelimpahan.

  • The Borneo Case – Semenjak menjabat, tampaknya menteri negara Sarawak memandang seisi alam amanahnya itu sebagai timbunan uang miliknya. Film ini merekam perjuangan warga suku asli mempertahankan hutan, yang bukan sekadar timbunan harta, tapi sebuah tempat hidup.

  • Gold – Seorang penambang emas bangkrut dari Nevada menemukan prospek timbunan emas tak terkira di Kalimantan. Sayangnya pesona kemilau emas terlalu menyilaukan dan membuat akal sedikit tertunda, bahkan sebelum emasnya betul-betul ada.

  • The Will // Testamentet – Henrik Steffensen kabarnya akan menerima warisan dari kakeknya yang kaya raya. Harapan, kekecewaan, pengkhianatan dan rusaknya hubungan keluarga datang silih berganti, membawa Henrik memasuki perenungan yang dalam tentang hubungan dirinya dengan uang.

2. Menang Lotere

Setelah sekian deskripsi yang mencurigai dan mewaspadai harta milik, apakah lantas itu berarti kami tidak ingin ketiban rejeki bak menemukan harta karun? Tentu saja ingin! Jujur saja, banyak permasalahan yang solusinya antara lain dengan memiliki dana yang cukup. Kuncinya —sekaligus tantangannya— adalah dengan menjaga pola pikir bahwa dana itu adalah sarana, bukan tujuan. Sederhana. Pelaksanaannya? Rumit.

Pada banyak kasus di mana harta memang masih dianggap kurang (atau distribusinya tidak merata berkeadilan), impian akan rejeki berupa harta nomplok masih tebal dan jadi cita-cita banyak orang. Lini film dalam seksi program ini merekam kecenderungan itu dalam film-film Indonesia, atau bahkan film barat, ketika kasusnya adalah membandingkan diri mereka dengan kemiskinan negara lain. Atau ketika sedang mengolok-olok diri sendiri lewat sebuah satir.

Seksi program ini terdiri dari lima film panjang, yaitu:

  • Badut-badut Kota – Sepasang suami-istri (Dede Yusuf dan Ayu Azhari) ekonomi pas-pasan, menghadapi getirnya hidup dengan canda. Sadar bahwa perkotaan dipenuhi badut-badut berduit, daripada pusing-pusing, mereka memilih “pusing-pusing”.

  • Cukong Blo'on – Madun, seorang lintah darat membantu biaya sekolah Lies dengan agenda bisa memperistrinya kelak. Namun kehadiran Jack, orang kaya yang berbudi, mempersulit Madun.

  • Heaven Sent // Un drôle de paroissien – Satu keluarga aristokrat Perancis harus hidup merana di jaman yang keliru, karena mereka “terlahir malas”. Yang bisa dilakukan hanyalah meminta petunjuk Tuhan dan bertindak sesuai petunjuk-Nya demi bisa hidup layak.

  • Lion – Saroo, seorang anak miskin di India mendapatkan bala sekaligus berkah ketika terpisah dari keluarganya dan diadopsi pasangan mapan di Australia. Namun hubungan darah tidak dapat dipungkiri. Ia ingin kembali berjumpa.

  • Rumah Tanpa Jendela – Persahabatan antara Rara, anak pemulung yang mendambakan punya jendela di kamarnya, dengan Aldo, anak orang berada yang mengidap gangguan kejiwaan.

3. Pundi Celaka

Agama-agama dan tuntunan spiritual sejak jaman kuno tampaknya telah mengetahui satu rahasia yang jarang kita dengarkan: tumpukan harta berbahaya bagi jiwa kita. Tetapi repotnya, baik agama-agama itu maupun kita sekarang, tidak pernah bisa dengan persis menjelaskan kenapa. Hanya jejak-jejaknya yang jelas: berbagai penelitian membuktikan jejak korelasi yang jelas antara jumlah kekayaan dengan karakteristik buruk pemiliknya.

Literatur —dan tentu juga film— telah banyak merekam fenomena ini, bahwa tumpukan harta harus diperlakukan dengan waspada, sebelum ia menggerogoti jiwamu. Jika masih penasaran kenapa dan bagaimana-nya, mungkin kita bisa melacaknya dari sebuah tamsil paling sederhana, di mana seorang saudagar diliputi cemas karena hartanya, sementara tetangganya yang miskin tidur dengan nyenyak. Dan kita tahu, kecemasan bisa berentet membawa keputusan dan keburukan lain.

Seksi program ini terdiri dari lima film panjang, yaitu:

  • Anjing-anjing Geladak – Tragedi kakak beradik Maulana dan Makbul setelah memilih memanjat tangga sosial hidup yang keras melewati cara-cara kriminal. Salah satu crime film terbaik Indonesia.

  • The Good Life // Det gode liv – Sepasang ibu dan putri pengusaha kaya harus menghadapi cobaan hidup sederhana semenjak bangkrut, tanpa bekal mental dan skill apapun dalam menghadapi hidup. Bahkan tidak juga untuk menjalin hubungan yang sehat.

  • Ketika – Ketika korupsi sungguh-sungguh diberantas dan koruptor sungguh-sungguh dimiskinkan, barulah seseorang seperti Tajir Saldono bisa melihat dengan jernih apa sejatinya harta tak halal yang membenamkannya itu.

  • Sebelum Pagi Terulang Kembali – Sebagai pejabat yang berusaha hidup lurus, tetap saja Yan terkoneksi dengan jalinan korupsi negerinya yang membelit. Yang tersisa dari jalinan yang sistemik ini, tampaknya hanyalah integritas dan kejujuran pribadi.

  • Sins of My Father // Pecados de mi padre – Perjalanan spiritual dan pertobatan Juan, anak gembong narkotik Pablo Escobar, yang menyadari betapa harta yang ditimbun ayahnya berlumur darah dan membawa kutukan.

4. Diskusi "Saatnya Bongkar Brankas"

Jika ada problem cinta, mungkin kita akan mencurahkan unek-unek kita ke seorang sahabat sembari berharap dia mau mendengarkan kita sampai berdebu. Jika ada problem agama, kita bisa menemui ustadz atau pendeta dan berharap ia punya jawaban. Jika ada problem keuangan? Kita pinjam, atau minta. Bisa ke sahabat tadi, atau kalau nekad, ke sang ustadz.

Kita merasa tahu pasti bagaimana seharusnya mengelola harta. Meskipun uang hanyalah alat tukar, ada semacam ajimat di dalamnya yang membuat kita merasa perlu memiliki dan merasa tahu persis untuk apa seharusnya uang itu. Kenapa kita tidak berkonsultasi kepada “ustadz keuangan”, atau dengan kata lain, yang punya ilmu tentang itu? “Ah, bukannya yang ahli tentang uang itu biasanya juga pasti ingin uang?” Lengkaplah sudah kegagapan kita tentang harta: merasa tahu, dan curigaan pula.

Dengan sikap yang jamak seperti itu, terasa ada yang intim, dekat dan bahkan sensitif tentang hubungan kita dengan harta milik kita, tetapi jarang dibicarakan dengan sehat. Apa sejatinya mekanisme yang terjadi? Mari berdiskusi mencari pola hubungan yang sehat antara kita dengan harta. Kenapa kita kemaruk harta? Kenapa ada yang bisa melepas harta dari pola pikirnya? Bagaimana kita mengelolanya, dan yang lebih penting, cara memandangnya supaya punya bekal pondasi yang lebih sehat tentang harta.

Ito Prajna-Nugroho – menyelesaikan studi sarjana dan pascasarjananya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, dan kini bekerja sebagai peneliti pada lembaga Lingkar Studi Terapan Filsafat (LSTF). Ia mengkhususkan peminatan pada fenomenologi dan studi tentang konflik. Telah menelurkan buku berjudul Fenomenologi Politik: Membongkar Politik Menyelami Manusia.

Ligwina Hananto – telah lama fokus menemani dan membimbing orang untuk lebih taktis mengelola harta mereka lewat profesinya sebagai financial planner. Mendirikan QM Financial sebagai lembaga konsultan keuangan, dan menginisiasi situs www.plan.id sebagai platform online merencanakan keuangan. Melalui kehadirannya yang disambut lewat sosial media, Ligwina juga kini dikenal sebagai seorang financial trainer dan public speaker.

Comments


bottom of page