Artikel ini disalin dari Cinema Poetica (terbit 25 Maret 2011).
Badut-badut Kota hadir di layar kineforum dalam program Bongkar Brankas (7-20 Desember 2017).
Baru kali ini saya melihat ada film komedi Indonesia yang bisa bersikap dualistik dengan sangat konsisten dari awal sampai penghabisan. Dualisme tersebut tidak hanya mencakup dialog, melainkan struktur naratif yang mendukung ceritanya. Pun dalam hal isu, komposisi dualistik terdapat pada bagaimana Badut-Badut Kota berkomentar atas silang-sengkalut politik, kesenjangan sosial, seksualitas, juga kondisi perfilman Indonesia saat itu.
Badut-Badut Kota ditulis dengan dialog yang terus bercabang. Cabang pertama mengarah sebagai sindiran orang melarat terhadap orang kaya, cabang yang kedua mengarah pada pembalikan cibiran tersebut pada si orang melarat itu sendiri. Dalam struktur narasi cerita, adalah Deddy, seorang miskin yang bekerja jadi badut di Taman Hiburan, ia punya atasan yang biasa dipanggil Pak Bos. Masalah orang-orang seperti Deddy selalu sama, ingin bayar kontrakan tapi tak bisa, anaknya minta dibelikan apel tak bisa, bila anggota keluarga sakit mau berobat pun tak bisa. Intinya, masalah Deddy selalu terletak pada kata “membeli”.
Anehnya, dalam rapat para badut, Pak Bos selalu menegaskan bahwa pekerjaan membadut hanyalah penanggungan sementara bagi mereka yang belum mendapat pekerjaan tetap. Pak Bos selalu meminta agar karyawannya bersabar, semoga sebentar lagi bisa keluar dari kostum berperut bundar itu untuk nasib yang lebih lapang. Dualisme pertama terletak di sini, sebagai pemilik usaha, Pak Bos seharusnya menyemangati para karyawannya untuk terus bekerja demi produktifitas sebagaimana logika yang paling dasar dari sebuah usaha. Namun Pak Bos justru meloncat melampaui pembayangan produktifitas itu dan meyakinkan para karyawannya untuk naik kelas. Scene ini menyasar pada terbukanya jendela para badut untuk mengkhayalkan diri mereka jadi orang serba ada. Imaji kaya menyeruak dari balik bejana kaca.
Setiap kali Deddy pulang kerumah, ia terus berlagak senang dan menjanjikan pada istrinya, sebentar lagi mereka akan pindah ke real estate, terus tersenyum sembari bermain koboi-koboian dengan Bimo anaknya. Bimo memanggil Deddy dengan sebutan “Daddy” sebagaimana anak-anak orang kaya memanggil ayah mereka. Scene ini mencoba membaca orang kaya dari mata orang melarat, namun di waktu yang sama juga meledek orang miskin bahwa jurang untuk menyeberang jadi kaya sangatlah lebar, panggilan “Daddy” di keluarga Deddy membuat saya ingin tertawa dan menangis di waktu yang bersamaan. Dualisme kedua kembali menyiluetkan bayangan orang kaya dari balik bejana kaca.
Suatu ketika, Deddy dan kawannya ditanggap untuk ‘main’ di sebuah rumah mewah. Dari dalam kostum badut, mereka melihat diri sendiri datang dengan mobil mewah, bawa istri semlohai, lalu lewat menjabat tangan para badut yang adalah mereka sendiri. Di sini dualisme sudah masuk pada level audiovisual, efeknya bukan saja lucu sekalian sedih, melainkan juga menampar-nampar kesadaran sesiapapun yang ada di situ saat itu: orang kaya, orang miskin, juga penonton. Dalam adegan Taman Hiburan, tarian badut jenaka seringkali ditimpali dengan obrolan politis yang ritmenya sama sekali menelikung aksentuasi bahasa gambar. Obrolan itu diucapkan oleh mereka yang lagi membadut (mumpung wajahnya tak kelihatan), dualisme audiovisual ini dilengkapi oleh penggunaan frasa yang sangat “Orde Baru” untuk menggambarkan hal yang lagi-lagi bermakna ganda dalam porsi sama, contohnya frasa “Panggilan tugas”, “Manuver”, serta “Politik dan keamanan”. Entah para badut ini sedang mengevaluasi nasib sendiri, atau mereka tengah mengomentari rezim Bapak Soeharto, yang jelas metafor yang mereka gunakan jauh melampau penjelasan dasar akan arti kata itu sendiri. Alih-alih berpikir, para penonton malah akan sibuk tertawa.
Pertanyaan saya berikutnya: kenapa kelas menengah tak ada dalam film Badut-Badut Kota? Ada adegan seorang kawan Deddy tiba-tiba kaya mendadak berkat judi dan habis itu jatuh miskin lagi. Proses dia untuk menjadi kaya tak diperlihatkan. Ada beberapa adegan di mana si miskin mengkhayal jadi kaya. Adegan khayal ini dibuat lebih lama dari adegan khayal biasanya sehingga penonton jadi ragu, jangan-jangan mereka kaya betulan. Lewat berbagai model twist, Badut-Badut Kota melontarkan kembali para karakternya dari kolam renang jatuh telak ke dipan bambu. Hidung orang kaya kembali muncul dari mimpi bejana kaca.
Di sini saya mohon permisi untuk menceritakan bagian akhirnya, bagian di mana Deddy akhirnya menemukan apa sebenarnya jurang yang selama ini menghalanginya jadi kaya. Berkat kejujurannya, seorang kaya jatuh hati untuk memberi Deddy modal usaha. Seperti juga kawan Deddy yang penjudi, kita tidak pernah diperlihatkan bagaimana proses Deddy menjadi kelas menengah terlebih dahulu sebelum nasib membawa mereka menanjak naik ke kawasan perlente. Dari bawah sekali, tiba-tiba Deddy sudah berada di atas sekali.
Dengan begini apakah lantas bejana kaca itu hilang? Sama sekali tidak. Bejana kaca tetap ada meski Deddy sudah menyeberang ke pihak orang kaya. Dinding bejana kaca itu sekarang berada di antara film dan penonton, di mana penonton harus menyadari bahwa kejadian macam nasib Deddy hampirlah mustahil terjadi. Kebetulan-kebetulan macam itu mungkin hanya ada satu kali setiap abad berganti.
Jurang naratif antara kaya dan miskin memanglah hal yang tak terjelaskan dalam Badut-Badut Kota. Tetapi disisi lain, khotbah yang begitu moralis juga berkumandang dari corong-corong ceritanya, bahwasanya bila ingin bahagia, hendaklah yang kaya bersikap dermawan pinjamkan modal, dan hendaklah si miskin untuk selalu jujur dan bijak dalam memutar modal itu. Terlepas dari kerapihan cerita dan konsep teknisnya, Badut-Badut Kota sebenarnya hanyalah cerita yang tidak masuk akal, sebagaimana ujar Deddy selalu, “Tidak masuk akal, seperti film-film kita sekarang.”
Badut-Badut Kota | 1993 | Durasi 103 menit | Sutradara Ucik Supra | Negara Indonesia | Pemain Dede Yusuf, Ayu Azhari, Sofyan Sharna, Rahman Yacob, Jajang C. Noer, Ami Priyono
Tulisan ini merupakan retrospektif dari salah satu film yang diputar selama Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum.
Mengembangkan dan melestarikan Cinema Poetica untuk belajar lebih seksama. Dari 2009 sampai 2011 aktif sebagai pengurus literasi dan lokakarya di bioskop komunitas Kinoki. Alumni kajian film dan media di Korea National University of Arts, juga peserta Berlinale Talent Campus untuk kritik film pada 2012. Pernah menulis untuk beberapa media seperti The Jakarta Post, filmindonesia.or.id, Fovea Magazine, dan publikasi Udine Far East Film Festival. Sekarang mengajar film di Universitas Multimedia Nusantara.
Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.
Comments