Artikel ini disalin dari blog pribadi Eric Sasono.
Denok & Gareng sempat hadir di layar kineforum dalam program Arus Bawah (3-16 April 2017).
Babi bisa jadi merupakan hewan paling banyak diimbuhi simbol di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia. Kepolisian RI pernah marah kepada Majalah Tempo ketika majalah itu menurunkan laporan tentang polisi dengan “rekening gendut”. Majalah ini dituduh melakukan penghinaan. Alasannya, sampul majalah itu menggambarkan seorang polisi sedang menggiring ekor celengan babi. Kepolisian RI merasa terhina dengan penggambaran 3 ekor babi itu karena babi binatang yang haram.
Pelekatan simbol itu teradi juga dalam film dokumenter Denok dan Gareng karya Dwi S. Nugraheni. Denok dan Gareng adalah sepasang suami istri yang bertemu sebagai anak jalanan di Jogja. Denok lari dari rumah di usia 14, terdampar dan tinggal di pinggir jalan sampai akhirnya bertemu dan menikah dengan Gareng. Ia tinggal di desa Gamping, Sleman, bersama keluara besar Gareng yang terdiri dari ibu Gareng, adik Gareng, Soesan dan Pur. Denok dan Gareng punya seorang anak, Frida, yang bersekolah di taman kanak-kanak.
Keluarga itu bekerja sebagai peternak babi dan ini membuat karakter mereka unik, karena mereka Muslim. Ketegangan simbolis pasti terjadi. Namun yang menarik, film ini tak sedang membuat sentimentalisasi ataupun glorifikasi terhadap formalitas semacam itu. Beda sekali dengan beberapa film fiksi yang amat getol membahas formalitas macam itu dengan sentimentalisasi berlebihan. Penggambaran ketegangan simbolis itu berjalan amat sederhana dan alamiah dalam sebuah percakapan kecil ketika Frida akan berangkat sekolah, dipangku dan disisiri oleh ayahnya. Frida diminta agar tak berterus terang bahwa ayahnya beternak babi. Bilang saja beternak ayam dan bebek, kata ibunya.
Profesi mereka sebagai peternak babi memang menjadi pintu masuk, tapi Heni bercerita lebih dalam, yaitu tentang lingkaran kemiskinan yang menimpa orang-orang yang hidup di daerah sub-urban di Indonesia. Jika peneliti Robert Chambers (1983) pernah menulis tentang ‘lingkaran setan kemiskinan’ yang tak mungkin dipatahkan di daerah pedesaan. Kaum papa di pedesaan Indonesia, menurut Chambers, hidup sehari-harinya berada dalam tingkat ekonomi subsisten, maka jika ada perubahan dalam rutinitas itu, mereka akan masuk ke dalam lingkaran dimana mereka tak mungkin keluar lagi. Film dokumenter ini memperluas gambaran Chambers itu ke penduduk Indoesia di kawasan sub-urban.
Heni menjadikan Denok dan Gareng sebagai wakil dari gambaran kemiskinan kaum sub-urban di Indonesia. Mereka terlibat dalam lingkaran kemiskinan yang membuat mereka tampak amat rapuh terhadap perubahan-perubahan dari rutinitas finansial mereka. Namun ada dua hal penting yang tampak menonjol dalam soal lingkaran kemiskinan ini: lembaga publik dan siasat-siasat ekonomi.
Ketika Soesan, adik Gareng, mengalami kecelakaan lalu lintas dengan motor pinjaman, seharusnya mereka terjun ke dalam jurang kemiskinan dimana mereka tak mungkin keluar darinya. Namun ternyata mereka terselamatkan oleh perusahaan asuransi sosial milik negara, Jasa Raharja, yang memberi santunan bagi kecelakaan itu. Dengan mudah film ini dituduh menjadi sarana promosi bagi Jasa Raharja. Saya memilih untuk melihatnya penggambaran ini lebih jauh, yaitu: pentingnya lembaga ekonomi publik yang beroperasi bukan untuk mencari keuntungan semata. Perusahaan yang dinasionalisasi dari perusahaan Belanda ini telah lama menjalankan fungsi asuransi sosial di Indonesia, dan peran itu nyata serta mungkin sulit tergantikan dengan perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Maka peran Jasa Raharja yang digambarkan dalam film ini, bagi saya, adalah sebuah pernyataan politik penting mengenai kewajiban negara menyediakan jaring pengaman sosial bagi warganya.
Kedua, para penduduk yang hidup dalam ekonomi subsisten seperti ini selalu penuh siasat ekonomi dan film ini menggambarkan dengan penuh keriangan bagaimana Denok dan Gareng menjalankan siasat-siasat itu. Mulai dari menjual asset-aset mereka, sampai memulung sampah untuk makanan babi dan berpikir untuk menjual celana bekas yang mereka temukan di tempat sampah. Siasat-siasat seperti ini, seperti misalnya penggunaan pekarangan rumah sebagai sarana mencari uang tambahan, selalu menjadi sebuah jalan keluar di negara yang tak memiliki sistem jaminan sosial yang memadai. Denok Gareng menjadi gambaran sempurna pelaksanaan siasat-siasat itu.
Namun dari semuanya, yang paling menarik dalam film ini adalah hal yang berada di luar peran negara dan siasat ekonomi warga: para manusia di dalamnya. Sekalipun berargumen tentang pentingnya peran lembaga publik, saya merasa film ini tak berhenti di situ. Heni berhasil masuk ke ruang-ruang intim keluarga besar ini dan menggali cerita dari mereka dengan relatif spontan untuk sampai pada kesimpulan yang penting. Kesimpulan itu adalah kemampuan para penghuni ekonomi subsisten di Indonesia untuk tetap tertawa dan bercanda akan kesulitan hidup mereka. Inilah sebuah siasat lain lagi yang kerap tak masuk dalam ruang analisis akademisi dan luput dari perhitungan para perencana kebijakan.
Satu hal penting lain lagi dalam film ini adalah kisah cinta yang tumbuh antara kedua orang ini, yang bagi saya luar biasa. Kisah romantis keduanya digambarkan berjalan dengan amat manis tanpa drama berlebihan dan tanpa musik pengiring yang menyebalkan. Film ini berhasil masuk ke kamar tidur mereka dan menggambarkan Denok dan Gareng bercanda dengan keintiman yang tak dibuat-buat. Yang unik dari kisah cinta ini adalah bahwa hubungan mereka ikut terdefinisikan oleh kesulitan-kesulitan ekonomi yang mereka jalani. Dan, lagi-lagi, semua digambarkan tanpa sentimentalisasi.
Dibuat dalam gaya observational documentary, Denok dan Gareng berhasil mengajukan argumen politik dan pada saat yang sama masuk ke dalam pedalaman batin orang Indonesia tanpa perlu melakukan sentimentalisasi. Jarang, amat jarang, film Indonesia yang berhasil tiba pada pencapaian seperti ini.
Denok dan Gareng | Indonesia | Dokumenter | 89 menit | 2012 | Jawa Dwipa Films / credo: films GmbH | Sutradara Dwi Sujanti Nugraheni | Kamera Kurnia Yudha Fitranto | Suara Kusuma Abdi Surbakti | Penyunting Gregorius Arya Dhipayana | Produser Dwi Sujanti Nugraheni | Coproducer Susann Schimk, Jӧrg Trentmann
Comments