Sabtu, 20 November 2019
(Setelah penayangan film Kompilasi Film Pendek "Perspektif Berbeda mengenai Aceh"
Lokasi:
Paviliun 28
Jl. Petogogan 1 no. 25
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Pembicara:
Murizal Hamzah (Wartawan senior asal Aceh)
Aceh yang merupakan provinsi paling barat di Indonesia, selama ini selalu identik dengan dua hal, masyarakat yang konservatif dan wilayah bergejolak yang tidak setia pada NKRI. Setidaknya begitulah pandangan kebanyakan masyarakat yang hidup di luar provinsi tersebut..
Perjanjian Helsinki pada tahun 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemudian membuktikan bahwa pandangan masyarakat Aceh yang senang dengan konflik ternyata tidak sepenuhnya benar. Kendati, perjanjian damai ini tidak serta merta merubah situasi sosial di Aceh.
Sejak Diberlakukannya Syariat Islam di Provinsi Serambi Mekkah melalui UU NO. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh, kehidupan masyarakat Aceh praktis berubah. Penerapan Syariat Islam dianggap sebagai penghambat kemajuan bagi provinsi Aceh, namun di satu sisi, menghapus identitas Islam dari provinsi Aceh juga bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat Aceh dan Islam selama ini dikenal sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, apalagi, kerajaan Muslim pertama di Nusantara berada di wilayah Aceh. Status Otonomi Khusus Aceh juga membuat kondisi di provinsi ini tidak bisa diotak-atik oleh Pusat.
Sesi diskusi kali ini adalah rangkaian dari pemutaran kumpulan film pendek Perspektif Berbeda Mengenai Aceh. Dalam diskusi kali ini akan dibahas bagaimana kehidupan sosial masyarakat Aceh pasca Perjanjian Helsinki, dimana penonton kumpulan film Pendek dalam kompilasi program “Perspektif Berbeda mengenai Aceh” dapat mencari tahu mengenai apa kondisi sebenarnya di Aceh yang selama ini tidak diberitakan media nasional yang Jakarta-sentris.