Artikel ini disalin dari Cinema Poetica (terbit 3 November 2017).
Posesif hadir di layar kineforum dalam program Sejarah adalah Sekarang 9 (9-29 Maret 2018).
Tidak butuh waktu lama untuk Posesif menyatukan Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken). Sosok Lala—sebagai seorang atlet loncat indah yang mewakili Jakarta di PON—sudah Yudhis dengar dari keramaian yang ditimbulkan Ega (Gritte Agatha). Dari Ega pula, Lala kemudian mengenal sosok Yudhis—seorang anak baru yang ganteng.
Romansa mereka bermula di ruang guru. Lala, yang absen sekolah karena mengikuti ajang PON, harus berada di sana untuk mengejar pelajaran. Sementara Yudhis, sebagai siswa baru yang belum paham aturan sekolah, berada di sana untuk mengambil sepatunya yang disita—perwujudan pertama dari sifat posesifnya Yudhis adalah terhadap sepatunya.
Keduanya terlibat dalam interaksi tolong-menolong. Yudhis membantu Lala menjawab soal, dan Lala membantu Yudhis mengambil sepatu. Sayangnya kolaborasi itu ketahuan Pak Guru. Jadilah mereka dihukum berjalan di tengah lapangan dalam kondisi sepatu terikat satu sama lain—perwujudan pertama dari ikatan antara Lala dan Yudhis.
Pak Guru menyarankan kepada mereka, bilamana mau kerja sama, haruslah total. Jeng jeng. Totalitas itu berujung jadian. Yudhis adalah cinta pertama Lala, dan Yudhis ingin itu berlangsung selamanya.
Dansa Tak Berirama
Dalam Posesif, kata “selamanya” bermakna ganda. Pertama, “selamanya” sebagai sebuah bualan remaja naif; kedua, “selamanya” sebagai ikrar kesetiaan yang tak bisa dan tak boleh ditawar.
Sepanjang film, dua makna itu saling tumpang tindih, sehingga membuat kedua tokoh terlihat menghidupi relasi yang tidak sehat. Yudhis menyakiti orang-orang yang ia anggap merusak “selamanya”. Tidak terkecuali bila orang itu Lala, tidak terkecuali bila orang itu dirinya sendiri.
Hubungan Yudhis dan Lala bagaikan dansa tak berirama. Tak ada koordinasi, tak ada negosiasi. Yang ada hanyalah intimidasi. Ketiadaan kabar berujung bentakan. Ucapan dari mulut dibalas tangan.
Dinamika pasangan yang demikian mungkin tidak asing kita dengar. Namun, meski sudah cukup tajam menggambarkan kekerasan dalam pacaran, Posesif ternyata ingin beranjak lebih jauh. Edwin dan kawan-kawan selaku pembuat film coba menarik korelasi antara perilaku Yudhis dengan latar belakang keluarganya. Yudhis digambarkan sebagai korban kekerasan dari ibunya, dan Lala ada di sana untuk menolongnya.
Keputusan pembuat film untuk membuat Lala menolong Yudhis jelas tidak salah. Namun, tampak bahwa proses Lala memaafkan Yudhis, sampai kemudian terdorong untuk mengunjunginya lagi, kurang kuat digambarkan. Proses memaafkan hanya tersirat dari ekspresi Lala saat melihat pernak-pernik penguin.
Perkataan Ega, yang menyebutkan bahwa menolong Yudhis bukan tanggung jawab Lala, pun tidak Lala balas dengan argumen yang sepadan. Sementara yang tersisa lainnya paling hanya hal-hal simbolik yang lebih menawarkan rasa ketimbang logika cerita. Misalnya rubik yang Yudhis mainkan, yang bisa jadi sebagai metafor dari sosoknya yang rumit dan harus “dipecahkan”; serta penguin yang Lala sukai, yang seakan mewakili sifat Lala yang hanya setia sama satu pasangan seperti penguin.
Menjadi masuk akal bila kemudian ada orang yang berkata bahwa film ini terkesan ingin mengajak penontonnya untuk memahami pelaku kekerasan, ketimbang menghindar atau melaporkan. Sebab opsi soal menghindar atau melaporkan memang tidak disinggung secara cukup oleh film. Sementara, untuk membuat opsi “kembali ke Yudhis” terasa logis, paling tidak film perlu menunjukkan pertimbangan opsi-opsi lain yang juga tak kalah memungkinkannya untuk Lala lakukan.
Tentunya, ini bukan masalah yang mana yang lebih tepat untuk ditampilkan ke khalayak. “Lala kembali ke Yudhis” akan tepat-tepat saja selama ditunjang dengan penceritaan yang mumpuni. Bukankah dibekapnya McMurphy di One Flew Over the Cuckoo’s Nest dan Anne di Amour pakai bantal sampai meninggal terasa tepat-tepat saja?
Remaja dan Rumah
Posesif memang mengangkat soal kekerasan dalam berpacaran. Tapi, pada saat yang bersamaan, harus dipahami pula bahwa film ini berisikan tokoh-tokoh yang masih SMA. Sah-sah saja bila kemudian film ini lebih banyak mengeksplorasi soal dunia remaja, ketimbang dunia kekerasan dalam pacaran.
Remaja, sekalipun sudah mulai terpapar oleh nilai-nilai dari luar, adalah fase yang masih belum bisa terlepas dari rumahnya. Posesif berpegang pada hal ini. Kita tentu ingat perseteruan yang menjadi puncak perpecahan Yudhis dan Lala. Saat itu keduanya sama-sama mempertahakan pilihan kampus masing-masing. Namun pilihan kampus itu bukan mewakili minat keilmuan mereka, melainkan mewakili keterikatan mereka dengan “rumah” masing-masing.
Peran rumah itu tak hanya berlaku untuk kampus, tapi semua hal. Ketika Posesif masuk ke pembahasan soal kekerasan dalam pacaran, kondisi rumah Yudhis adalah bagian yang tak terlepaskan. “Ayah saja tidak pernah mukul kamu,” kata ayah Lala (Yayu Unru) saat tahu anaknya dicekik. Tentu. Tapi pelakunya, Yudhis, sering dipukul ibunya. Dan bukankah budaya kekerasan itu hidupnya memang ada di pelaku, bukan (atau belum) di korban?
Hal serupa tampak saat Yudhis berkata kepada ayahnya Lala. Sambil makan bareng, Yudhis berkata bahwa ia ingin serius dengan Lala. Ayah Lala justru menyuruh Yudhis berdiskusi dengan ayahnya. Tapi di situlah masalahnya, Ayah Yudhis absen. Tidak ada perspektif orang dewasa yang bisa mendudukkan perkara Yudhis dalam gambaran yang lebih besar. Yang ada hanyalah perspektif ibu kejam, yang memaksakan pandangan bahwa dirinya telah memberikan segalanya untuk Yudhis.
Pada akhirnya, pertemuan Lala dan Yudhis adalah pertemuan dua rumah yang berbeda. Sebagai remaja, Yudhis dan Lala pun belum memiliki cukup daya untuk menampiknya. Seperti cangkang kura-kura, pengalaman dan nilai-nilai yang dipelajari di lingkungan terkecilnya tersebut mereka bawa ke manapun mereka pergi. Rumah menjadi sesuatu yang menempel pada diri mereka. Mereka bisa lari sejauh apapun, tapi bagi Lala dan Yudhis, rumah hanya bisa ditinggalkan, belum bisa ditanggalkan.
Posesif | 2017 | Durasi 102 menit | Sutradara Edwin | Penulis Gina S Noer | Produksi Palari Films | Negara Indonesia | Pemeran Putri Marino, Adipati Dolken, Gritte Agatha, Chicco Kurniawan, Cut Mini, Yayu Unru, Ismail Basbeth, Maulidina Putri
Lulusan psikologi. Menulis untuk Cinema Poetica sejak 2013. Sempat menjadi juru program pemutaran film di Bentara Budaya Jakarta dan menulis untuk Jurnal Ruang.
Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.