Dalam masyarakat tradisional, ketika panen gagal, wabah penyakit melanda, atau masalah lainnya merundung, biasanya diadakan upacara tolak bala. Ritual tolak bala, dalam berbagai bentuknya, biasanya adalah sebentuk “dialog” dengan alam semesta, termasuk penguasanya, siapapun itu, untuk mengakhiri masa malapetaka.
Tapi di lain kesempatan, ada masanya ketika sumber malapetakanya terlacak dan bisa dikenali. Di Jawa, ketika masyarakat mendapati bahwa penguasa mereka punya andil dalam malapetaka, ada hak yang dikenal dengan tapa pepe, yaitu menjemur diri di alun-alun di hadapan kraton penguasa. Sebuah aksi yang mungkin setara dengan demonstrasi damai kalau jaman sekarang. Harapannya, dengan menampakkan diri dalam laku tapa pepe di halaman kraton, penguasa mawas diri bahwa dirinya menjadi sumber ketidakpuasan, atau bahkan malapetaka, bagi rakyatnya yang seharusnya ia ayomi. Dan jika jalan tengah tidak ketemu, masih selalu ada yang namanya pemberontakan.
Ada benang merah dari kedua macam laku itu. Setelah mengenali adanya ketidakberesan, manusia berbuat sesuatu. Mulai dari berdialog dengan penguasa, baik yang punya keriput maupun yang adanya di alam lain, sampai memberontak terhadap apa/siapapun yang dianggap sumber bala. Manusia bisa melawan nasib, demi mendapatkan hidup yang lebih baik.
Dengan semangat itu, kineforum menyajikan program Menolak Bala sepanjang tanggal 15-28 Mei 2017, untuk mengajak Anda semua mengeksplor dan merayakan semangat manusia untuk melawan bala, apapun bentuknya. Program yang terdiri dari 15 judul film dan 1 sesi diskusi ini kami persembahkan dalam masa yang membutuhkan semangat perlawanan dosis tinggi. Sesederhana melawan ketidakpedulian, ketidakkritisan, apatisme, kebodohan, sampai melawan tendensi kita sendiri untuk merasa benar sendiri, sehingga tak sadar jadi bala bagi orang lain.
Semoga dapat memantik sedikit letupan dan menambah bahan bakar untuk terus bertahan dalam kewarasan yang bisa jadi kian menipis. Salam sinema dan sampai jumpa di kineforum.
1. Seni Membangkang
Menolak bala pun perlu cara. Ada kalanya turun ke jalan dan angkat senjata ternyata tidak memberi hasil. Lantas bagaimana pula caranya seni budaya punya harapan? Seni budaya adalah ekspresi dari jiwa dalaman manusia, sehingga proses perubahan dan penyadarannya datang dari dalam, menyasar ke jiwa dalaman orang lain pula. Maka tak aneh jika seni budaya bukan saja sekadar alat penyadaran akan adanya bala, tetapi juga untuk menyatakan sikap di hadapan pembawa bala yang berdiri mengangkang, bahwa, “Kami tidak takut!”.
Seksi program ini terdiri dari tiga film panjang, yaitu:
Ai Weiwei: The Fake Case – Ketika sang seniman dicari-cari kesalahannya sehingga tak bisa berkarya di negerinya, maka berkarya saja untuk luar negeri, tentang negerinya.
Kantata Takwa – Ketika para penyanyi pemberontak bertemu dengan penyair yang risau, lalu sama-sama sadar bahwa rakyatnya hidup di bawah sepatu lars penguasa, yang hadir adalah mahakarya dan ajakan gerakan budaya yang membahana.
Puisi Tak Terkuburkan – Bahkan ketika jasmani telah kalah dan lelah, bisikan lirih puisi tetap bisa jadi semangat untuk menolak menyerah.
2. Keluarga Bencana
Adakah harta yang lebih berharga daripada keluarga? Ada. Yaitu keluarga yang dikelola dengan beres. Karena konon keluarga adalah unit masyarakat terkecil, sekaligus unit yang paling intim, maka keluarga juga jadi tempat pembentukan karakter manusia yang paling awal dan paling membekas. Apalagi dengan ikatan emosional yang meneyertai ikatan darah. Tetapi itu juga berarti bahwa keluarga bisa jadi sumber bala yang paling membekas, karena sialnya, keluarga tidak selalu bisa jadi sumber nilai yang ideal. Kadang-kadang malah sumber bala. Tradisi perlawanan bisa dimulai sejak dalam keluarga, idealnya ketika keluarga mengajarkan untuk selalu meluruskan yang salah. Tapi bisa juga dengan cara yang keras dan tidak ideal: keluarganya sendiri yang harus diluruskan.
Seksi program ini terdiri dari empat film panjang, yaitu:
Ali Topan Anak Jalanan – Ali Topan sesungguhnya ingin jadi orang yang baik, namun ia jelas tidak bisa meneladani keluarganya sendiri yang terbenam dalam kemunafikan.
Kuldesak – potret sebuah generasi yang menyimpan gelegak amarah, setelah terlalu lama menyaksikan para orang tua generasinya yang mengkhianati semua nasihat mereka sendiri
The Patience Stone – terjebak dalam pernikahan yang dingin dan satu arah, seorang istri yang putus asa menemukan teman curhatnya dalam bentuk suaminya yang lumpuh total
The Window – seorang perempuan menelusuri akar malapetaka dalam keluarganya, ke sebuah sistem yang memenjara semuanya, bahkan memenjara para penindas itu sendiri.
3. Kuasa Massa
Istilah "massa" sekilas merujuk ke suatu benda yang punya bobot, tapi tidak berdaya apa-apa. Agaknya, kesan itu juga yang muncul ketika kumpulan manusia dalam jumlah besar tidak berfungsi apa-apa selain memberat-berati saja. Atau lebih buruk lagi: jadi alat belaka, seperti "massa mengambang", bagaikan batu yang mengapung secara gaib, tinggal dicomot oleh yang sakti untuk dilemparkan sebagai senjata sesuai selera.
Maka ketika kumpulan manusia itu menyadari hak dan dayanya melebihi "massa" belaka, mereka akan mengenali apa dan dari mana bala yang sedang melanda. Massa yang berdaya kuasa adalah mimpi buruk bagi sumber bala, sehingga tidak heran massa akan selalu direduksi menjadi pemberat belaka, dan makin penting untuk selalu menjaga kesadaran dan kewarasan massa.
Seksi program ini terdiri dari empat film panjang, yaitu:
I Am the People – Nun jauh di pedesaan, jauh dari huru-hara politik di ibukotanya, masyarakat Mesir perlahan sadar akan hak dan kekuatannya.
Marsinah (Cry Justice) – Terbunuhnya aktivis buruh Marsinah menggelontorkan sirkus sandiwara yang dibintangi oleh para aparat sebagai detektif karbitan untuk mencari kambing hitam demi mengalihkan kesalahan.
Nada dan Dakwah – Ketika modal raksasa mengancam kehidupan dan penghidupan rakyat, seorang seniman dan pendakwah yang peduli, harus berjuang bersama masyarakatnya, mencari solusi bagi semua.
November 1828 – Sebuah desa yakin akan perjuangan pemimpinnya demi mereka, maka mereka pun siap menjadi tumbal ketika para musuh menginjak mereka demi sepotong informasi.
4. Provokator Budiman
Ketika ada seseorang yang mendapati bahwa Pak RT menyelewengkan dana warga di sebuah kompleks yang damai, lalu dia mengabarkan kelakuan itu, ada dua kemungkinan: dia akan dianggap pahlawan, atau dianggap provokator pengganggu ketertiban.
Dalam masyarakat yang sehat, sesuatu yang salah, membusuk, meski ditutupi, haruslah dituntaskan, karena para penolak bala akan menyadari bahwa borok yang ditutupi suatu saat akan jadi bom waktu atau setidaknya penyakit yang diam-diam menggerogoti masyarakat dari dalam. Atau minimal, ada korban yang dirugikan. Untuk memulai proses tolak balanya, mau tak mau harus ada para perintis yang membuktikan keberadaan borok itu. Merekalah yang mengoyak tabir penutup jalan, supaya jalan menghindari bala jadi terlihat. Meskipun dengan risiko dianggap pengganggu "ketertiban".
Seksi program ini terdiri dari satu film pendek dan tiga film panjang, yaitu:
Burma VJ: Reporting from a Closed Country – Di balik sekat dan tabir, penindasan berjalan aman terkendali. Beberapa jurnalis gerilya mencoba membuat lubang di sekat-sekat itu.
Give Up Tomorrow – Dua remaja putri menghilang, dan sebuah negeri tercebur dalam benang kusut saling mangsa berbekal modal pola pikir korupnya. Film ini berupaya melihat dari jauh keributan itu.
Sekolah Kami, Hidup Kami – Anak SMA tidak cuma bisa tawuran. Mereka cukup bisa untuk “tawur” terhadap guru-guru mereka yang korup.
Spotlight – Ketika institusi penopang moral berbuat amoral, lalu malah menutupinya, sekelompok jurnalis yang berdedikasi, bertekad membuka selubung itu.
5. Diskusi: Kenali Perlawananmu
Melawan, atau dalam frase kami bulan ini, "menolak bala", akan terdengar gagah ketika kita tahu persis siapa/apa balanya, dan kenapa kita melawannya. Repotnya, ini adalah jaman banjir informasi. Kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, sepertinya tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup untuk menghadapi banjir ini. Indra dan otak kita kewalahan, lalu kesulitan memilah dan memilih. Lalu bias mulai bekerja. Ketika semua orang berkata bahwa bala yang harus ditolak adalah ini atau itu, bagaimana kita mengenali apa/siapa bala yang semestinya dilawan saat ini?
Dengan semangat itu, kineforum mengundang dua orang pembicara dalam diskusi bulanan untuk berbagi perspektif mereka, baik sebagai akademisi maupun praktisi. Diskusi kali ini mencoba merunut pola pikir perlawanan/tolak bala sejak masa pendidikan terdasar dari keluarga, berlanjut ke membangun kesadaran kritis untuk mengenali bala. Langkah berikutnya, yang biasanya paling rumit, adalah bagaimana memberdayakan perlawanan di level masyarakat. Perspektif alternatif yang ditawarkan dalam sesi diskusi kineforum kami harapkan dapat memperkaya kemampuan kita sebagai penonton dan anggota masyarakat dalam mengenali perlawanan yang perlu dan penting untuk dilakukan, dan cara apa yang lebih efektif.
PEMBICARA:
Asfinawati – Seorang pegiat Hak Azasi Manusia dan pengacara publik yang telah lama menangani berbagai kasus publik semacam isu perburuhan, sengketa tanah, kebebasan beragama hingga kekerasan seksual. Saat ini menjabat sebagai Direktur YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), periode 2017-2021.
Melani Budianta – Seorang akademikus yang mendalami bidang kajian gender, kajian budaya, poskolonialisme, dan juga sastra bandingan. Memulai jalur akademiknya di Sastra Inggris, Melani Budianta melebarkan minat dan wilayah kerjanya mengadvokasi isu-isu gender, pluralisme dan demokrasi pada umumnya, dari kacamata budaya. Saat ini juga merupakan seorang guru besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Comments