top of page

KAWAH CANDRADIMUKA


Dalam epos Mahabharata, Gatotkaca lahir kembali sebagai ksatria berotot kawat dan bertulang besi, setelah direbus dalam sebuah kawah mitis bernama Candradimuka. Penafsiran paling umum adalah kawah itu tempat Gatotkaca digembleng dan ditempa menjadi manusia matang, pastinya melalui kesulitan dan ketidaknyamanan, dilambangkan melalui panasnya kawah.

Kawah Candradimuka adalah ritus pendewasaan. Dalam banyak budaya dunia, berakhirnya masa kanak-kanak dirayakan lewat ritus yang dibuat mengesankan, misalnya upacara lompat batu di Nias atau bungee jumping tradisional di Vanuatu. Dalam budaya modern, ritus itu entah ke mana, dan mungkin —meski tidak pada tempatnya dibahas saat ini— berhubungan dengan makin tertundanya masa dewasa di jaman modern.

Tapi, mahluk apakah pendewasaan? Nyatanya setiap kita memaknainya berbeda. Tapi satu yang sama: biasanya untuk sungguh-sungguh memasuki masa dewasa, ada masa-masa berat. Panas seperti kawah. Dan setiap kita menjalaninya dalam bentuk yang berbeda-beda. Bahkan mungkin ada yang tidak menjalaninya, sehingga seumur hidup ia berpola pikir seperti kanak-kanak. Di jaman ketika “dewasa” tidak lagi dirayakan lewat ritus atau bahkan tidak dianggap penting, film tetap banyak menyajikan proses pendewasaan itu, meskipun terjadi diam-diam tanpa ajang ritus, di setiap pelosok dunia. Program Kawah Candradimuka hadir sebagai secuil upaya kami untuk tetap merekam proses itu, dan semoga, bercermin darinya.​

Memulai 2018, kineforum —dalam rangka merangkak dewasa— mencoba pembagian seksi program baru, yang akan dijaga konsisten di setiap program reguler kami. Melalui 15 film panjang dari berbagai negara, satu kompilasi film pendek pilihan Organisasi boemboe, dan beberapa kesempatan berbagi dalam dialog, program kali ini mengajak kawan semua untuk bersama-sama mencicipi penting dan gentingnya menjadi dewasa. Menghadapi dunia yang makin panas, sepertinya tak ada untungnya lagi menghindari proses ini.

Salam sinema, dan sampai jumpa di kineforum, para gatotkaca abad 21!​

Meskipun Lumiere Bersaudara mempopulerkan medium film bergerak dengan niat iseng dan menjadi yang terdepan dalam hal-hal "kekinian" --di masanya, tentu-- film segera disadari sebagai medium yang memungkinkan eksplorasi bentuk dan metodenya. Sebuah medium seni baru. Misalnya Sergei Eisenstein termasuk yang pertama-tama mengeksplorasi bahasa visual sinema dengan konsep montage-nya, sesuatu yang kini sudah mengendap dan menjadi bahasa tutur visual yang dipahami oleh semua lapis penikmat film. Setiap eksplorasi berharga, baik dalam bentuk maupun isi. Karena itu kami menyajikan rubrik Adikarya Masa untuk mencatat dan merayakan film sebagai karya seni, dalam koridor tematik yang sesuai.

Apa yang pernah dieksplorasi oleh para maestro tentang tema pilihan kali ini? Apa sajian yang patut tercatat dalam sejarah mengenainya? Nikmati film-film sebagai karya seni yang asyik menjelajahi tema-tema terpilih itu dalam aneka bentuknya. Ada yang menonjol dari segi production value; ada yang menonjol karena merupakan sajian dari maestro sinema; ada yang menggunakan cara tutur dengan estetika unik dalam berkisah; ada pula film yang muncul di saat yang tepat dan menjadi tonggak yang signifikan di masanya. Dari yang eksperimental hingga yang fokus mengolah jiwa, dari yang terdepan hingga yang terbaik, hingga yang patut dicatat, layak mendapat tempat di 'galeri'. Untuk dinikmati, diapresiasi, dirasakan.

Di bulan Januari 2018, kami mempersembahkan 5 film panjang dalam rubrik ini, yaitu:

  1. The 400 Blows // Les quatre cents coups – Kenyataan hidup versus akil balig, terasa bagaikan dipukuli 400 kali. Bagian pertama dari tetralogi Antoine Doinel, sekaligus debut film panjang dari sutradara aliran French New Wave, Francois Truffaut.

  2. Eliana, Eliana – Perjalanan satu malam ibu dan anak yang telah terpisah satu sama lain dalam mengarungi Jakarta. Perjalanan yang dibutuhkan demi saling memahami dunia masing-masing.

  3. Love and Shukla – Shukla, seorang pemuda India dari kasta brahmana yang miskin, harus menjalani kehidupan pernikahan dengan bekal pengetahuan dunia nyata sejumlah nol.

  4. Moonrise Kingdom – Bagi Sam dan Suzy, sepasang bocah 12 tahun, kehidupan pramuka dan keluarga sama-sama menjepit. Lebih baik mereka kabur untuk hidup bersama, begitu pikir mereka.

  5. Usia 18 – Realita hidup memaksa Edo untuk menomorsekiankan hubungannya dengan Ipah demi tanggung jawab yang lebih besar. Tapi mereka berusaha untuk tetap setia.

Sergei Eisenstein tidak hanya asyik mengolah bentuk. Filmnya tercatat juga mampu menyajikan isu yang tersambung secara rasa dengan masyarakatnya, dan ikut menggugah sebuah pergerakan. Dalam posisinya sebagai seniman, wajar jika filmmaker pun juga seorang pengamat yang berhasrat memetakan fenomena dan tema di masyarakatnya. Tentu sah belaka pula jika mereka memilih untuk lebih memilih terjun menjelajahi isu/tema pilihan dari berbagai sudut bak detektif atau wartawan, apalagi ketika film semakin matang sebagai medium. Jika bisa untuk medium bereksperimen, kenapa tidak untuk medium 'dakwah', atau sumber diskusi? Sebutlah nama semacam Costa-Gavras atau Oliver Stone, yang sudah "sejak dalam pikiran" tampak meniatkan membuat film untuk menyerukan sudut pandang mereka, atau minimal menghadirkan isu-isu yang dirasa penting untuk ditindaklanjuti.

Rubrik Corong Karsa menghadirkan film-film yang kami percaya, juga sejak dalam pikiran, telah berniat menyuarakan isu-isu terpilih dengan keteguhan dan ketangguhan. Untuk diresapi, dicerna, didiskusikan, dan idealnya, ditindaklanjuti. Karena kami pun merasa, ada yang bisa direnungkan dan dibahas lebih mendalam dari film-film dalam rubrik ini. Demi kita semua.

Dalam program kali ini, kami menawarkan 5 film panjang untuk memulai dialog yang lebih dalam, yaitu:

  1. Approved For Adoption // Couleur de peau: Miel – Jung “lahir” di usia 5 tahun, ketika dia ditemukan berkeliaran tanpa keluarga di Korea pasca perang. Adopsi memasukkannya ke sebuah dunia yang sama sekali baru.

  2. Beyond Silence // Jenseits der Stille – Lara ingin merengkuh dunia di luar dunia orang tuanya yang tuna rungu. Ingin lebih daripada sekadar menemani mereka. Tapi semua ada ongkosnya.

  3. In a Better World // Hævnen – Sepasang bocah bersahabat: seorang korban bully dan seorang pemendam amarah. Di batas mana kita harus diam atau bertindak atas ketidakadilan?

  4. Manchester by the Sea – Lee memilih jauh dari kota asalnya akibat memori luka yang terlalu dalam. Tiba-tiba ia harus kembali ke sana dan bertanggungjawab atas keponakannya yang barusan yatim.

  5. Yang Muda Yang Bercinta – Di kampusnya dan di kehidupan sekitarnya, Soni menyaksikan terlalu banyak ketidakadilan. Emosinya tertuang dalam puisi dan cinta. Tapi apakah itu saja cukup?

Lelah mengerutkan alis akibat terlalu serius? Di awal abad ke-20, Georges Méliès asyik bereksperimen dengan medium film. Tetapi lebih daripada 'hanya' eksplorasi diri, Méliès dengan sadar mencari cara dan teknologi baru untuk menghibur penontonnya. Tidak ada yang salah dari keinginan menghibur. James Cameron membuat Avatar dengan kesadaran penuh ingin membuai penontonnya, tetapi toh tidak lantas jadi eskapisme ala candu semata. Tetap ada kesadaran baru yang muncul di benak penonton, misalnya tentang lingkungan hidup. Film yang menggugah sekaligus menghibur adalah paket lengkap impian semua, baik penonton maupun pembuatnya.

Nikmati sajian film-film pelipur lara dan pengharu biru dalam rubrik Nuansa Kawula, dikriya khusus untuk Anda para penonton, tanpa harus mengorbankan isu/tema pilihannya. Semoga. Setidaknya, mari mengalami sinema dengan riang, tertawa bersama atau menangis bersama. Atau bahkan tertawa sekaligus menangis, bersama.

Dalam rubrik yang mengutamakan nilai hiburan ini, kami menawarkan 5 film panjang, yaitu:

  1. Everybody Wants Some!! – Akhir pekan terakhir sebelum semester pertama dimulai adalah celah terakhir kebebasan. Sekelompok mahasiswa baru bertekad menjalaninya seriang mungkin.

  2. Galih dan Ratna – Pada cinta pertama, semua terasa begitu indah. Pada cinta pertama, dunia juga menampakkan diri: tidak semua yang terasa indah, memang sungguh indah.

  3. Grave Decisions // Wer früher stirbt, ist länger tot – Sebastian mendapati bahwa ibunya meninggal 11 tahun lalu tepat ketika melahirkan dirinya. Segala cara akan ia lakukan demi menebus “dosa”-nya.

  4. Realita Cinta dan Rock'n Roll – Ipang dan Nugi kecewa dengan keluarga dan dunia. Pelarian mereka hanyalah persahabatan satu sama lain, dan seorang pemilik toko kaset bernama Sandra. Seandainya sesederhana itu.

  5. We Are the Best! // Vi är bäst! – Bobo dan Klara ingin membentuk band punk untuk menyuarakan kemarahan dan kekesalan mereka pada dunia, meski tidak punya skill musik sama sekali.

"Dasar anak muda tidak tahu diuntung!"

Omelan itu, dengan pilihan kosakatanya, mungkin familiar terdengar bagi yang mengalami masa mudanya di era 1970-an dan 1980-an. Lantas yang lebih universal, “Dasar anak muda jaman sekarang!” sampai yang spesifik sekarang, “Anak milenial manja-manja!”, dan berbagai variasinya.

Sepertinya sudah jadi kebiasaan tiap jaman, orang dewasa memandang rendah karakteristik anak mudanya, dengan segala karakteristik yang dianggap tidak cocok dengan etiket jaman itu. Dengan fenomena berulang seperti ini, mungkin tidak heran prospek “menjadi dewasa” menjadi tidak menarik. Membosankan, kompromistis, dan sebagainya. Tetapi nyatanya kita semua, mau tidak mau, akan memasuki fase dituntut dewasa, ketika mencapai usia tertentu. Ada yang tarik menarik di sini: sepertinya ada manfaat plus menjadi dewasa, tapi minusnya bikin jeri juga. Atau… jangan-jangan semua yang kita benci dari kedewasaan sesungguhnya bukan dewasa, tetapi “tua”?

Banyak definisi tekstual dan tertulis tentang menjadi dewasa, tetapi bagi tiap orang, makna dan rasanya berbeda-beda. Sayangnya, ini bukan topik yang mudah dibicarakan dari hati ke hati, apalagi justru (ironisnya) ke orang terdekat: ada ketakutan dan kekhawatiran tentang persepsi kedewasaan. Ada sesuatu dalam diri yang merasa bahwa orang lain butuh kita lebih dewasa, sehingga mengakui kurangnya kita di situ menjadi sesuatu yang memalukan.

Sebagai bagian dari program Kawah Candradimuka kineforum di Januari 2018 ini, kami mengajak Anda untuk mengikuti diskusi yang bukan sekadar diskusi, tetapi juga berbagi. Setiap orang —ya, Anda semua— adalah narasumber dalam proses pertukaran gagasan ini. Kekayaan diskusi ini bertumpu pada kekayaan pengalaman dan pandangan tiap peserta, dan tentunya kesediaan berbagi. Jadi, mari 'buka-bukaan' kepada teman baru (you got nothing to lose!), dalam sesi berbagi dan bersaran: apa artinya, dan apa gunanya menjadi dewasa.

#SESIBUKABUKAAN kali ini difasilitasi oleh:

Rival Ahmad – turut mendirikan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia pada akhir 90an, dan menjadi peneliti di lembaga yang fokus pada pembaruan hukum tersebut hingga kini. Ia juga menjadi dosen luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2004-2011), dan ikut merintis pendirian Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada 2011. Rival menekuni juga kerja sebagai perancang peraturan dan fasilitator, selain sebagai dosen matakuliah Hukum dalam Masyarakat dan Ilmu Perundang-undangan di Jentera.

Comments


bottom of page