Ketika kita memperhatikan ke arah mana arus mengalir di lautan, jauh di kedalaman, sesungguhnya ada golakan arus lain yang seringkali lebih dahsyat, kadang berlawanan arah, dan hampir selalu, menyeret. Seperti juga laut, arus gerak di dalam masyarakat juga berlaku sedemikian. Proses sosial bergerak ke banyak arah, berkelindan dengan yang bergerak di bawah permukaan, membentuk satu ekosistem sosial yang utuh. Dan seperti juga laut, arus sosial yang bergerak di kedalaman itu, sering tak terlihat. Terkadang, diakui keberadaannya pun tidak. Dalam kasus yang lebih ekstrim, arus bawah semacam itu bahkan hendak ditumpas, yang tentu saja akan selalu sia-sia.
Dinamika sosial tak akan pernah bisa dipahami secara utuh jika arus bawah diabaikan. Bukan saja kita hanya mendapat gambaran yang dangkal, pengabaian arus bawah akan menyebabkan kita luput mengenali berbagai potensi, baik potensi masalah ataupun potensi solusi.
Dalam program Arus Bawah sepanjang 3-16 April 2017, kineforum menyajikan beberapa film yang berusaha merekam arus yang tak tampak itu. Kami percaya film sebagai produk budaya sudah sepatutnya menjadi wadah suara bagi dinamika sosial yang tak terdeteksi di keseharian kita yang terbatas di dunia masing-masing. Namun mengingat situasi industri perfilman sendiri, selalu ada kekhawatiran bahwa upaya merekam arus bawah sama saja berarti menayangkan hal-hal negatif, kalah, pesimis, dan pada akhirnya, tidak "menjual". Namun kami yakin, kisah manusia dan perjuangannya adalah sesuatu yang universal: selalu akan menemukan tempatnya untuk dibagikan, dikisahkan.
Seksi program Bidak merekam drama mereka yang terkalahkan, atau yang memilih untuk ikut terseret arus. Tapi tidak semua menyerah begitu saja. Ada yang berkeras kepala mempertahankan harga diri, seperti tersaji dalam seksi program Bidak Meraja. Beberapa berusaha memetakan permasalahan hingga taraf tertentu, dan mengenali sosok penindasnya, untuk lalu memilih bersuara, seperti dalam seksi program Kancil dan Buaya. Yang lain memilih untuk mengayuh di arusnya sendiri, memilih untuk menghindari arus utama yang menyeret, seperti dalam seksi program Pelanduk yang Merdeka.
Semoga program kali ini cukup bisa menemani untuk mengintip (syukur-syukur mendalami) arus bawah sosial kita. Salam sinema dan sampai jumpa di kineforum.
1. Bidak
Membanjirnya buku (dan tentu saja film) bernuansa motivasional sesungguhnya menunjukkan bahwa kita sebagai masyarakat sedang membutuhkan pengingat yang bersifat positif. Tentu saja hal itu baik, dan... positif. Namun tak jarang pula pengingatnya bertolak dari identifikasi masalah yang meleset. Sekurang-kurangnya, tidak cukup komprehensif. Sesekali, perlu juga kita berempati dengan mereka yang terkalahkan, justru karena gagal mengenali peta masalahnya. Bahkan terpenjara dalam kerangkeng struktural yang tak tampak.
Seksi program ini ingin memberi suara bagi mereka yang terpinggirkan itu, seperti tokoh-tokoh dalam Impian Kemarau yang hanya bisa menemukan pelepasan dalam hasrat terdalam, atau seperti anak-anak terbuang dalam Daun di Atas Bantal yang tak sempat menikmati berkah "kemerdekaan" bangsanya. Kompilasi Bidak (Seserahan, Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jendral!, Flaneurs #3, Pangreh, dan Pulang Tanpa Alamat) juga membunga rampai sekian kisah mereka yang kalah, memilih kalah, sampai yang memilih untuk ikut arus saja, meskipun arus itu menelan mereka. Juga, kisah mereka yang sempat hampir mengenali posisi mereka dalam arus sosial, dalam produksi terbaru Fourcolours film, Turah. Hampir.
2. Bidak Meraja
Terlalu sering, gerak sosial diamati dari jauh, dan berfokus ke para pemain besar. Ibarat catur, yang dianggap penting dan genting adalah manuver para raja, ratu ster dan punggawa. Lalu melupakan bahwa ada bidak, yang seringnya hanya jadi korban, atau sebaik-baiknya, sekadar alat untuk mencapai tujuan. Maka betapa seringnya orang lupa bahwa mereka yang dianggap bidak itu juga sama-sama bernapas, punya jiwa, punya hasrat, punya ketakutan dan mungkin juga cita-citanya sendiri.
Nyatanya, sebagian memang memilih untuk memperjuangkan harga dirinya. Baik mereka yang jadi korban pergolakan politik seperti dalam Surat dari Praha, maupun yang bermanuver dengan kepentingan para pendonor kaya dalam Bermain di Antara Gajah-Gajah. Sementara dalam Kompilasi Bidak Meraja (SOIna, Kematian di Jakarta [Lagi], GUK! dan Heaven for Insanity), kita akan menyaksikan mereka yang berjuang mempertahankan harga diri itu bahkan hingga ke liang lahat.
3. Kancil dan Buaya
Dongeng kancil dan buaya mempesona kita di masa kecil dengan asumsi seekor kancil bisa mengenali siapa buayanya. Dengan kata lain, hanya jika yang jelata bisa mengenali siapa atau apa yang membuatnya kalah. Sayangnya perkara mengenali itu pun bukan hal yang mudah.
Film-film dalam seksi program ini berupaya memperlihatkan struktur penjara itu. Patriotisme dan korupsi berjalan beriringan dalam Draft Day dan How to Win at Checkers (Every Time). Sistem yang abai dalam Le Havre, dan sistem yang menindas dalam Timbuktu, sama-sama dapat ejekan. Kompilasi Kancil dan Buaya (Survival of the Grocer, Marni, Surat Cinta untuk Sang Prada dan Bless this Mess) kesemuanya berusaha mengintip siapa atau apa yang telah mereduksi hidup menjadi hubungan yang fatal.
4. Pelanduk yang Merdeka
Ketika para gajah dan raksasa super kaya saling bertarung, siapa bilang pelanduk harus terhimpit di tengah-tengah? Pelanduk punya hak untuk melenggang dari arena pertarungan dan menciptakan ruang hidup mereka sendiri.
Masyarakat pinggir Bandung yang mungkin tak dimasukkan dalam hitungan indeks kebahagiaan warga sana, memilih untuk memelihara tradisi mereka dengan segala problematikanya, dalam Sihung. Di India, dalam Cities of Sleep, ketika ruang tidur pun menjadi ruang negosiasi kuasa, beberapa bisa menciptakan ceruk dan pemaknaannya sendiri. Denok & Gareng melanjutkan hidup sebagai pasutri mantan anak jalanan dengan cara hidup yang sesungguhnya halal, tapi akan tetap didakwa haram. Sekurang-kurangnya, halal dan haram dalam satu paket. Lukas' Moment merekam proses negosiasi Lukas dalam senyap, dalam kesehariannya sebagai nelayan.
5. Diskusi: Yang Luput Dibicarakan Ketika Menonton Film Indonesia
Film sebagai produk budaya (baik dalam artian budaya pop maupun yang adiluhung) diharapkan bisa jadi cermin untuk masyarakatnya. Bahkan yang bertujuan pop-ringan-menghibur pun minimal merekam semangat jaman dari masa ketika film itu dibuat. Tapi bagaimanapun, "merekam semangat jaman" itu upaya yang minimal, dan masih terlalu umum, untuk tidak menyebutnya permukaan.
Mengenali adanya "semangat jaman" yang tertentu saja, mensyaratkan pembacaan yang lebih mendalam atas sebuah masyarakatnya. Pada gilirannya, pembacaan yang lebih mendalam atas sebuah masyarakat mensyaratkan tergambarnya aneka mekanisme sosial masyarakat di lapisan-lapisan terdalamnya, yang belum tentu terlihat dari sudut pandang turistik atas fenomena. Di sinilah rasanya ada dugaan bahwa film Indonesia masih banyak luput merekam fenomena-fenomena arus bawah, kecuali di segelintir film yang tidak populer.
Hal ini menyebabkan tipisnya pemahaman atas masyarakat sendiri. Gejala paling terasanya adalah, perhatikan bahwa kita lebih mengenal bagaimana masyarakat lain berdetak, Amerika atau Jepang misalnya, daripada masyarakat kita sendiri. Kita lebih mengenali berbagai tonggak sejarah bangsa-bangsa itu, dari berbagai sudut pandang pula, daripada tonggak sejarah kita sendiri, yang cenderung narasinya tunggal.
Program diskusi ini kami tujukan untuk membahas tema program secara lebih mendalam, sambil meng-highlight beberapa film dalam program Arus Bawah, dan mengajak para peserta diskusi/penonton film untuk lebih mendalami arus bawah dalam kehidupan kita bermasyarakat.
PEMBICARA:
Arief Ash Shiddiq – adalah satu-satunya Story Editor untuk naskah film dan TV yang ada di Indonesia. Ia terlibat dalam pengembangan beberapa naskah box office di Indonesia, antara lain film Habibie & Ainun, Mencari Hilal, Surat Dari Praha, Kuala Kumal, Marmut Merah Jambu, dan yang terbaru Hangout. Selain sebagai Story Editor, ia juga rutin mengajar untuk Kelas Novel PlotPoint.
Rival Ahmad – turut mendirikan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia pada akhir 90an, dan menjadi peneliti di lembaga yang fokus pada pembaruan hukum tersebut hingga kini. Ia juga menjadi dosen luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia mulai 2004-2011, dan ikut merintis pendirian Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada 2011. Rival menekuni juga kerja sebagai perancang peraturan dan fasilitator, selain sebagai dosen matakuliah Hukum dalam Masyarakat dan Ilmu Perundang-undangan di Jentera.
Comments